Gambar diambil dari http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/01/13587654152007867867.jpg |
Membahas
buku favorit anak-anak dari zaman baheula
sampai sekarang, saya jadi ingin sedikit membuka memori saya tentang masa
kecil. Cieee, memori. melodi melodi memori,
kali yaa. Maksudnyaa, yaa sekadar sekelumit kenangan yang masih terbayang
jelas dalam ingatan. Saat saya masih seperti anak kutu dan belum jadi kutu buku
beneran. Saat si kuncung sedang jaya-jayanya, Bobo si kelinci masih berusia 8
tahun, serta keluarga Budi dan Wati
sedang dalam masa keemasan. Ditandai dengan kerbau Pak Madi nya yang masih
gemuk dan besar. Iwan adik Budi juga belum sekolah. Nah saat itu, buku bacaan
yang bertebaran di sekitar saya juga masih buku-buku cerita rakyat nusantara
serta dongeng si Kancil Anak Nakal yang saya sewa gratis dari perpustakaan
sekolah. Minjemnyaa juga hanya boleh satu buku, tidak boleh lebih. Padahal
waktu itu saya sedang haus-hausnya membaca.
![]() |
Gambar diambil dari http://1.bp.blogspot.com/ |
Keterbatasan
bacaan saat itu sukses membuat saya tidak bisa tumbuh sempurna menjadi kutu dan
tidak berhasil mengejar gelar kutu.
Karena saat sedang haus-hausnya membaca untuk menjelma menjadi seorang kutu
buku, bacaan saya amat terbatas. Satu buku seminggu, diselingi majalah bobo
yang dibelikan bapak saya, dan Koran-koran serta sisa-sisa buku pelajaran dari
Kantor Dinas P&K tempat beliau bekerja. Buku-bukunya juga kebanyakan berbahasa
sunda yang tokoh utamnya Aman. Isah dan Ade urang
Cicalengka.
Gambar diambil dari http://www.irwan.net/images/stories/gambar2a.jpg |
Kehausan
saya untuk membaca harus menunggu liburan sekolah. Apa hubungannya? Karena saat
libur itulah saya bisa bertandang ke rumah uwa yang seorang guru. Di rumahnya
ada berdus-dus buku bacaan yang akan dikirim ke perpustakaan sekolah. Biasanya saya
boleh minjam untuk dibawa pulang. Saya pun kalap, minjam 10 buku malah habis
dalam waktu tiga hari. Padahal bukunya juga kalau dibaca anak-anak sekarang,
pasti sudah ogah membacanya. Kurang illustrasi dan hanya hitam putih saja.
Tapi yaa, terima apa adanya saja. Ada
buku yang bisa dibaca juga sudah untung. Berhubung kampung saya jauh dari
Belanda. Untuk mencapai kota Bandung saja harus menempuh berjam-jam perjalanan.
Naik angdes dulu, lalu naik bis gadablag
bertuliskan Bandung Majalaya. Lama perjalanan bukan karena saking jauhnya kota
Bandung dan Bandung saya yang nyingcet,
tapi karena menunggu Bis gadablag itu
penuh. Kebayang kan, kalau kita jadi orang pertama yang duduk di salah satu
kursinya, berarti harus menunggu 100 orang lagi. Alamakzam, keburu dikutuk si
Sirik deh. Dari pakaian necis berubah jadi kusut marisut karena terpanggang
dalam bis tak ber-Ac.
Beruntung,
lagi masa-masanya paceklik buku seperti itu, datanglah serombongan mahasiswa
yang KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari sebuah Universitas Negeri di Bandung. Mereka
berbaik hati membangun perpustakaan. Horeee, saya mulai kenal dengan Lima Sekawan yang baru masuk desa. Saat itu lah saya mulai
suka tulisan-tulisan Enid Blyton. Ada Sapta Siaga, serial Elizabeth si Gadis
Paling Badung Bengal di Sekolah, dan lain-lain. Saya menyisihkan uang jajan
agar bisa menyewa buku seharga 50 rupiah bergambar burung cenrdrawasih, untuk
beberapa buku. Waah puas sekali rasanya.
Hello,
dengan adanya EMD alias Enid Masuk Desa, saya jadi merasa nggak kudet alias
kurang apdet lagi. Bangga rasanya bisa kenal Enid dan cerita-ceritanya yang
menawan. Bahkan sampai sekarang, sudah setua ini pun, saya merasa harus tetap
mengoleksi buku-buku itu. Tentunya karena keistimewaan buku-buku tersebut nggak
ada habisnya di mata saya. Meski buku-buku anak tambah marak, saat ini.
Anak-anak abad ini begitu mudah mendapatkan buku. Mulai dari picture book sampai novel-novel anak
berbagai genre. Mulai dari dongeng nusantara, fabel, komik, fairy tale, sampai cerita horor. Tinggal
pilih sesuai selera.
Namun
berbeda dengan anak-anak zaman dahulu kala, anak sekarang sepertinya lebih
memilih buku-buku yang gambarnya meriah. Tanpa melihat isi cerita lebih dulu.
Tak jarang saat ke toko buku, saya harus beradu argument dengan anak dalam hal
memilih buku yang akan dibeli. Mereka langsung tertarik begitu melihat
sampulnya yang meriah. Tapi tetap saya ikuti, yang penting mereka tetap cinta
buku. Dan saya juga tetap istiqamah
dengan kesukaan saya mengumpulkan buku-buku karangan Enid Blyton dan buku-buku
dari masa kecil saya yang tak lekang dimakan waktu, seperti seri rumah kecil
yang ditulis oleh Laura Inggals Wilder.
Saya
jadi berpikir, kenapa buku-buku itu nggak ada matinya? Sedangkan buku-buku
terbitan lokal, sekali terbit langsung tumbang. Meski ada juga buku-buku
karangan penulis kita bisa cetak sampai berkali-kali. Tapi semoga hal ini
menjadi bahan pemikiran untuk para penulis dan juga penerbit, bagaimana agar
buku-buku anak di negeri kita bisa sampai ke hati anak-anak.
Sependek pengamatan
saya, buku-buku anak yang ditulis para penulis dewasa sepertinya kurang
mendapat tempat di hati anak-anak karena kurangnya sosialisasi dan pengenalan
kepada anak-anak. Penerbit lebih sering menyelenggarakan launching atau talk
show untuk buku-buku dewasa saja. Sedangkan buku anak kurang mendapat
perhatian. Buku anak yang baru terbit seperti dibiarkan berjalan sendiri. Tahu-tahu
sudah terbit dan bertengger di rak buku.
Buku-buku anak itu seperti meronta dan berteriak-teriak tak berdaya mengenalkan
dirinya sendiri pada anak-anak yang wara wiri di depan rak buku. Seandainya
sebelum nangkring di rak, ada sedikit pengenalan dulu kepada calon pembaca
anak-anak, minimal lewat spanduk atau brosur yang dikenalkan di pintu toko
buku. Tentu anak-anak akan menjadikannya bahan pertimbangan saat memilih buku
yang akan dibeli. Atau bisa juga penerbit dan penulis melakukan road show ke
sekolah-sekolah untuk mengenalkan buku-buku anak yang bermutu. Karena
sebetulnya, buku-buku anak yang bertebaran di negeri ini tak kalah bermutu. Buktinya,
banyak buku anak dari penulis kita yang diterjemahkan oleh negeri tetangga.
Semoga saja, ini menandakan bangkitnya perkembangan buku anak di negeri ini.
Karena masa depan anak-anak, salah satunya juga berangkat dari apa yang mereka
baca saat ini.
Tulisan ini diiukut sertakan dalam lomba blog Pameran Buku Bandung dan Syaamil Qur'an
Tulisan ini diiukut sertakan dalam lomba blog Pameran Buku Bandung dan Syaamil Qur'an
Ya ampun teteh... itu gambar-gambarnya membuatku terjebak nostalgia hehehe...
BalasHapushehe.. waas nya Teh. apalagi yang paling atas tuh, mungkin itu zamannya nenek moyang kita. tapi saya juga pernah duduk di bangku kayak gitu waktu SD.
BalasHapusHuwaaa...buku bahasa Indonesia-nya :D bikin senyum2 mbak :)
BalasHapusMbak Helda... emang ngalamin juga ya, ake buku yang itu, Mbak? :D
BalasHapus