24 Agu 2013

Sepatu Lukis Elis (Dimuat di Bobo edisi 19, tgl 15 Agustus 2013)






Oleh : Irma Irawati

“Dimana ya?... Kok nggak ada?” Elis mondar-mandir kebingungan. Ia tengah mencari sepatu kesayangannya. Sepatu kelinci yang dilukis dengan tangannya sendiri saat ikut kursus melukis di sanggar Taman Sari.

Elis duduk termenung di kursi yang tak jauh dari rak sepatu. Kembali mengingat-ingat apa yang dilakukannya seharian kemarin.


“Aaah…ketinggalan di pinggir lapang!” Seru Elis sambil menggaruk-garuk rambutnya. Ia baru ingat, saat pelajaran olah raga kemarin, ia mengganti sepatunya dengan sepatu olah raga. Dan meletakkan sepatu lukisnya di bawah tiang pinggir lapang.

Elis bergegas mengenakan sepatu olah raganya. Ia ingin segera tiba di sekolah dan mencari sepatu lukis kesayangannya. Sepatu berwarna putih yang ia hiasi dengan gambar kupu-kupu nan cantik.

“Semoga masih ada,” do’anya dalam hati. Ia sangat berharap sepatu itu masih tersimpan manis di bawah tiang tempat ia meletakannya. Dengan harap-harap cemas, Elis berlari menuju lapangan belakang sekolah.

Tapi sayang, sepatu itu sudah raib. Ia kembali ke kelas dengan lunglai. Keringatnya berlelehan di keningnya.

“Dari mana Lis? Sampai keringetan begitu,” Sapa Rani, teman sebangkunya.

“Sepatuku hilang,” jawab Elis, lemas. Tangannya sibuk menyeka keringat di wajahnya.

“Waah… kok bisa? Hilang dimana?” Rani Nampak kaget. Karena Elis biasanya tidak pernah ceroboh.

Usai bermain kasti kemarin, rupanya Elis asyik berbincang membahas kemenangan kelompoknya. Hingga ia melupakan sepatunya begitu saja.

Sejak hari itu, Elis tak henti mencari sepatunya. Terkadang kembali ke lapang, terkadang melongok tong sampah yang ada di dekat lapang.

Sampai suatu hari, Elis melihat seorang anak perempuan seusianya mengenakan sepatu yang mirip sekali dengan sepatunya yang hilang. Anak itu melintas di depan sekolah. Ia mengenakan seragam merah putih yang tampak kusam dan lusuh. Tas sekolahnya juga terdapat sobekan di ujung bagian atasnya. Hanya sepatunya yang terlihat bagus.

Esoknya sepulang sekolah, Elis sengaja menunggu anak itu lewat. Ia ingin tahu, kemana anak itu pulang? Elis mengikuti kemana anak itu melangkah. Waah, ternyata lewat lapangan belakang sekolah. Diam-diam, Elis terus mengikutinya dari belakang.

Anak itu berbelok ke mulut gang yang menghadap ke lapang. Jalannya kecil dan kotor. Elis harus berjalan hati-hati karena banyak genangan di sana sini. Sesekali juga harus menutup hidung, karena pengap dan bau.

Elis terus berjalan, melewati rumah-rumah yang beragam. Ada yang temboknya bolong, yang kacanya coreng moreng, yang halamannya dipenuhi jemuran nasi bekas. Sampai di depan bangunan yang tidak tampak seperti rumah. Tidak jelas depan belakangnya. Sekilas, seperti sebuah kamar. Karena hanya memiliki satu jendela kecil. Anak itu mengetuk pintu. Dan keluarlah seorang ibu yang tengah menyusui anaknya.

Elis berdiri di dekat rumah sebelahnya. Ia menarik napas. Ia yakin sekali, kalau sepatu yang dikenakan anak itu pasti sepatu miliknya. Mungkin tanpa sengaja, anak itu menemukannya di pinggir lapang.

Elis baru saja hendak berlalu ketika ia melihat anak itu keluar lagi. Mengenakan pakaian lusuh dan kumal. Anak itu menggendong anak kecil yang tadi disusui ibunya. Terlihat mengambil gerobak yang terparkir di samping rumah dan memasukkan adiknya ke situ. Elis menyembunyikan badannya, saat anak itu mendorong gerobak yang ditumpangi adiknya.

Anak itu mendorong gerobaknya, tanpa menyadari kehadiran Elis. Diam-diam, Elis kembali mengikutinya di belakang. Hatinya merasa trenyuh, saat melihat anak itu memunguti botol plastik yang ditemuinya. Sesekali harus mendiamkan adiknya yang menangis.

Sampai di rumah, Elis terpaksa menceritakan apa yang dialaminya pada Ibu. Karena Ibu menanyakan alasan Elis pulang terlambat.

“Dan selanjutnya, apa Elis akan tetap menanyakan sepatu lukis itu?” Tanya Ibu sambil menyendokkan nasi ke piring Elis.

“Bagaimana kalau Elis menukarnya dengan sepatu yang lain Bu?” Elis malah balik bertanya. Sepertinya, ia masih berat untuk melepaskan sepatu kesayangannya itu.

“Yaa… Ibu sih setuju setuju saja, selama itu baik,” Ibu menanggapi.

Selama makan siang, Elis terus memikirkan cara yang menurutnya akan membuat anak itu senang. Elis merasa kasihan dengan kondisi anak itu. Terbayang kembali saat anak itu mendorong adiknya sambil memungut botol plastik. Ya, pasti sepatu itu juga ia temukan saat ia mencari botol yang berserakan dekat lapang.

Minggu pagi, Elis hendak mendatangi rumah anak itu. Ia ingin memastikan, benarkah itu sepatunya yang hilang?... Jika ya, ia berniat menukar sepatu kesayangannya itu dengan sepatunya yang lain. Sekalian ingin memberikan baju-baju yang masih layak pakai. Berharap, anak itu akan senang menerimanya.

Tapi begitu tiba di depan rumahnya, Elis tak tega melihat anak itu sedang menjemur sambil mengelus-elus sepatunya. Elis mengurungkan niatnya dan mengikhlaskan sepatu itu.









5 komentar: