Ibu,
hadirmu bagai seteguk air yang pernah kuminum kala dahaga. Hanya sesaat kureguk
kasih sayangmu. Namun, setiap tetesnya
sangatlah berarti. Kujadikan bekal untuk tetap melanjutkan perjalanan, mengarungi
samudra kehidupan.Tanpa pernah kutahu, kapan aku bisa kembali menikmati tetes
demi tetes kasih sayang seperti yang kau berikan.
Hanya seteguk?... Ya. Karena teramat singkat kureguk belaian kasih sayangmu. Di usia 25 tahun, kau tinggalkan tiga anakmu yang masih haus kasih sayang seorang ibu. Kau tak kuasa menolak ajakan tamu yang menjemput ruhmu. Tak peduli dengan air mataku yang terus meleleh, mengantar tubuh kakumu diangkat keranda. Tak peduli pada tangis adikku yang belum lagi mengerti arti kehilangan. Takpeduli dengan celoteh bungsumu yang baru belajar memanggilmu mama.
Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sampai usia 7 tahun, kureguk kasih sayangmu. Namun meski hanya seteguk, air kehidupan itu masih terus mengalir bersama aliran darahku. Menjadi ion dalam tubuh yang membuatku tetap tegar melanjutkan perjalanan. Membuatku tetap segar saat melalui pahit getir kehidupan.
Hanya seteguk?...Ya. Karena aku belum puas memanggilmu mama. Merasa iri pada teman bermainku yang masih mendapat belaian sayang. Membuat hati ini perih setiap tiba hari raya. Karena saat hari raya yang semestinya bertabur kebahagaiaan itulah, aku menyaksikanmu terbungkus kapan. Terbujur kaku tak mendengar panggilanku. Tak menghiraukan betapa riuhnya tangisan sanak saudara. Mengabaikan bocah kecilmu menangis pilu.
Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sesaat kureguk kasih sayangmu. Namun meski hanya seteguk, setiap tetesnya mengajarkan cinta. Tetesan cinta yang melukiskan keramahanmu. Hingga seluruh jiwa di setiap sudut desa mengenalmu. Tetesan cinta yang meninggalkan jejak kedermawananmu. Hingga mereka yang papa di sekelilingmu merasa kehilangan. Tetesan cinta yang membingkai kebeningan hatimu. Hingga tak tercatat luka yang pernah kau toreh pada sekeping hati. Tetesan cinta yang merajut benang persahabatan. Hingga silaturahim terikat erat dengan sesamamu.
Hanya
seteguk?...Ya. Karena aku merana tak bisa menumpahkan isi hati saat teman
sebayaku curhat pada bundanya. Aku nelangsa menyaksikan teman asramaku ditengok
oleh ibu tercintanya. Lengkap dengan beragam oleh-olehnya. Aku meradang saat
menatap teman wisudaku yang begitu bangga berpose dengan sang mama.Sempurna,dengan
rona haru membingkai rasa bangga dan bahagia.
Ibu,
hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sepintas kau ajari
aku mengeja tanda baca. Namun meski sepintas, setiap tanda menuntunku mengerti
makna. Makna kesabaran saat aku harus berjalan tanpamu. Makna ketegaran saat
aku mengarungi bahtera kehidupan yang terkadang garang. Makna kesyukuran saat
aku menyadari bahwa jalanku tak sesunyi mereka yang tak berayah ibu.
Hanya
seteguk?...Ya. Karena aku tergugu saat suasana haru menyelimuti ruang rasaku.
Pada momen-momen indah yang seharusnya kau ada di sisiku. Saat hari bahagia
pernikahanku. Betapa ingin aku bersimpuh di hadapanmu untuk memohon restu. Saat
hari pertamaku menjadi ibu. Betapa ingin kuungkapkan
terima kasih telah melahirkanku sepenuh perjuangan. Saat semua orang merayakan hari ibu. Betapa
ingin kubisikan ‘selamat hari ibu’ dengan penuh cinta. Namun ternyata, hadirmu
hanya sebatas anganku.
Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sejenak kau mengajakku menapaki semesta. Tapi jejakmu terpahat indah nan menakjubkan. Jejak yang kau pahat di hati ayah hingga ia menjelma kesetiaan yang indah. Melebihi keindahan istana mumtaj mahal. Jejak yang kau patri di jiwa anak-anakmu hingga terukir prasasti, yang mengabadikan rasa terimakasih. Karena kau lah ibu yang telah menjadi seteguk air pelepas dahaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar