16 Apr 2012

IBUKU ADALAH SETEGUK AIR PELEPAS DAHAGA


Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang pernah kuminum kala dahaga. Hanya sesaat kureguk kasih sayangmu. Namun, setiap  tetesnya sangatlah berarti. Kujadikan  bekal  untuk tetap melanjutkan perjalanan, mengarungi samudra kehidupan.Tanpa pernah kutahu, kapan aku bisa kembali menikmati tetes demi tetes kasih sayang seperti yang kau berikan.

Hanya seteguk?... Ya. Karena teramat singkat kureguk belaian kasih sayangmu. Di usia 25 tahun, kau tinggalkan tiga anakmu yang masih haus kasih sayang seorang ibu. Kau tak kuasa menolak ajakan tamu yang menjemput ruhmu. Tak peduli dengan air mataku yang terus meleleh, mengantar  tubuh kakumu diangkat keranda.  Tak  peduli pada tangis adikku yang belum lagi mengerti arti kehilangan. Takpeduli dengan  celoteh bungsumu yang baru belajar memanggilmu mama.

Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sampai usia 7 tahun, kureguk kasih sayangmu. Namun meski hanya seteguk, air kehidupan itu masih terus mengalir bersama aliran darahku. Menjadi ion dalam tubuh yang membuatku tetap tegar melanjutkan perjalanan. Membuatku tetap segar  saat melalui pahit getir kehidupan.

Hanya seteguk?...Ya. Karena aku belum puas memanggilmu mama. Merasa iri pada teman bermainku yang masih mendapat belaian sayang. Membuat hati ini perih setiap  tiba hari raya. Karena saat hari raya yang semestinya bertabur kebahagaiaan itulah,  aku menyaksikanmu terbungkus kapan. Terbujur kaku tak mendengar panggilanku. Tak  menghiraukan betapa riuhnya tangisan sanak saudara. Mengabaikan bocah kecilmu menangis pilu.

Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sesaat kureguk kasih sayangmu. Namun meski hanya seteguk, setiap tetesnya mengajarkan cinta. Tetesan cinta yang melukiskan keramahanmu. Hingga seluruh jiwa di setiap sudut desa mengenalmu. Tetesan cinta yang meninggalkan jejak kedermawananmu. Hingga mereka yang papa di sekelilingmu merasa kehilangan. Tetesan cinta yang membingkai kebeningan hatimu. Hingga tak tercatat luka yang pernah kau toreh pada sekeping hati. Tetesan cinta yang merajut benang persahabatan. Hingga  silaturahim terikat erat dengan sesamamu.
Hanya seteguk?...Ya. Karena aku merana tak bisa menumpahkan isi hati saat teman sebayaku curhat pada bundanya. Aku nelangsa menyaksikan teman asramaku ditengok oleh ibu tercintanya. Lengkap dengan beragam oleh-olehnya. Aku meradang saat menatap teman wisudaku yang begitu bangga berpose dengan sang mama.Sempurna,dengan rona haru membingkai rasa bangga dan bahagia.
Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sepintas kau ajari aku mengeja tanda baca. Namun meski sepintas, setiap tanda menuntunku mengerti makna. Makna kesabaran saat aku harus berjalan tanpamu. Makna ketegaran saat aku mengarungi bahtera kehidupan yang terkadang garang. Makna kesyukuran saat aku menyadari bahwa jalanku tak sesunyi mereka yang tak berayah ibu.
Hanya seteguk?...Ya. Karena aku tergugu saat suasana haru menyelimuti ruang rasaku. Pada momen-momen indah yang seharusnya kau ada di sisiku. Saat hari bahagia pernikahanku. Betapa ingin aku bersimpuh di hadapanmu untuk memohon restu. Saat hari pertamaku menjadi ibu. Betapa ingin kuungkapkan terima kasih telah melahirkanku sepenuh perjuangan.  Saat semua orang merayakan hari ibu. Betapa ingin kubisikan ‘selamat hari ibu’ dengan penuh cinta. Namun ternyata, hadirmu hanya sebatas anganku.

Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sejenak kau mengajakku menapaki semesta. Tapi jejakmu terpahat indah nan menakjubkan. Jejak yang kau pahat di hati ayah hingga ia menjelma kesetiaan yang indah. Melebihi keindahan istana mumtaj mahal.  Jejak yang kau patri di jiwa anak-anakmu hingga terukir prasasti, yang mengabadikan  rasa terimakasih. Karena kau lah ibu yang telah menjadi seteguk air pelepas dahaga.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar