Bagi sebagian banyak orang pesantren identik dengan tempat buangan, santri yang kumuh, dekil dan sederet negatif lainnya.
Betulkah?
Ehm, waktu SMP-SMA dulu, hampir setiap libur sekolah, orang tua saya selalu mewajibkan untuk 'nyantri'
kilat. Awalnya, saya sempat bete juga. Apaan sih? Orang pengen
asyik-asyik liburan, ini malah disurun ikutan mesantren. Ga asyik! Itu
yang saya pikirkan. Well, itu awalnya, satu-dua hari setelah adaptasi
perlahan saya mulai enjoy dengan atmosfirnya, mengikuti semua jadwal
yang meski padat tapi sayang dilewatkan, seperti cross country, jalan ke
kebun bunga, camping sampai jurit malam! Saya mulai enjoy dengan
teman-teman baru dan merasa kehilangan setelah -tanpa terasa- waktunya
mesantren usai.
Itu juga yang dirasakan oleh Sakina, gadis cilik murid kelas 3 SD ketika
uminya memutuskan untuk menitipkan Sakina di sebuah pesantren yang
dikelola oleh Umi Haya, yang juga teman lama uminya saat mondok dulu.
Khawatir Sakina tidak bisa mengikuti materi pelajaran sekolah karena
ayahnya yang kerap ditugaskan berpindah-pindah kota sebenarnya membuat
uminya Sakina juga berat melepaskan Sakina. Demi pendidikan yang lebih
baik, Sakina memaksakan diri untuk menerima keputusan itu, dengan
harapan cukup satu semester saja, tidak perlu berlama-lama tinggal di
pondok Pesantren putri Halimah Sa'diyah.
Sakina mulai membuat ulah dengan melanggar peraturan pesantren dan
membanding-bandingkannya dengan sekolahnya yang dulu. Hingga suatu
ketika, saat Sakina dan Vinka - teman sekamar Sakina - sama-sama
menjalani hukuman, keduanya bertengkar hebat. Vinka yang saat itu
dihukum karena makan sambil berdiri tidak terima Sakina
menjelek-jelekkan pondok pesantren.
Saat 'diem-dieman' itulah, Sakina justru mulai menemukan 'asyiknya'
mondok. Lewat sahabat-sahabat lainnya yang memberikan perhatian pada
Sakina, kelembutan Umi Haya seperti layaknya seorang ibu kandung, kokok
si Blorok ayam kesayangannya hingga cita-cita setekad baja yang dimiliki
seorang murid kelas satu bernama Lana.
Nah, kebandelan apa yang dilakukan oleh Sakina, bagaimana serunya
hari-hari Sakina dan apa yang dimilliki seorang Lana hingga membuat
Sakina terenyuh? Akankah Sakina bertahan di pondok setelah Sakina
akhirnya mendapatkan keluarga barunya?
Lewat buku ini, penulis mengajak anak-anak untuk mengenal dunia pondok pesantren tidaklah sesuram dan 'garing' seperti yang dibayangkan. Ada banyak ibrah yang bisa dipetik pembaca anak-anak setelah membaca buku ini. Bukan sekedar patuh pada orang tua, atau membina hubungan yang baik dengan sesama teman atau mengajarkan kemandirian. Ada cita-cita luhur yang akan menjadi kebanggaan dan kebahagiaan orang tua saat anaknya mencintai dan menghapal Al Quran dan berbua mahkota bertabur cahaya saat hari akhhir nanti.
Saya tersenyum satire, malu sebenarnya dengan tokoh anak-anak dalam novel ini, bahkan dalam kehidupan nyata, ketika seorang bocah sudah mempunyai banyak hafalan Quran dengan tajdwid dan makhraj yang baik dan benar. Duh, saya sendiri harus bersusah payah menghafal juz 30. Satu surat hafal, beralih ke surat lain, surat yang sudah saya hafal malah jadi samar-samar. Hehehe.. Saya teringat lagi sebuah acara yang digelar di sebuah stasiun TV saat Ramadhan kemarin yang menampilka bocah-bocah cilik yang mempunyai hafalan Quran yang luar biasa.
Ketika saat seorang anak dalam masa keemasannya, ia akan begitu mudah menyerap, menangkap dan menghafal informasi yang diterimanya. Sayang sekali kalau dibiarkan berlalu dan tidak mengisinya dengan hafalan Quran. Saya yang sudah usia kepala 3 mungkin tidak akan semudah mereka untuk menghafal, tapi tidak boleh menyerah. Bukankah Allah menghargai usaha hamba-Nya terlepas dari bagaimana hasilnya, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar