27 Agu 2014

Buku Anak, Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh : Irma Irawati

Gambar diambil dari http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/01/13587654152007867867.jpg




Membahas buku favorit anak-anak dari zaman baheula sampai sekarang, saya jadi ingin sedikit membuka memori saya tentang masa kecil. Cieee, memori. melodi melodi memori, kali yaa. Maksudnyaa, yaa sekadar sekelumit kenangan yang masih terbayang jelas dalam ingatan. Saat saya masih seperti anak kutu dan belum jadi kutu buku beneran. Saat si kuncung sedang jaya-jayanya, Bobo si kelinci masih berusia 8 tahun, serta  keluarga Budi dan Wati sedang dalam masa keemasan. Ditandai dengan kerbau Pak Madi nya yang masih gemuk dan besar. Iwan adik Budi juga belum sekolah. Nah saat itu, buku bacaan yang bertebaran di sekitar saya juga masih buku-buku cerita rakyat nusantara serta dongeng si Kancil Anak Nakal yang saya sewa gratis dari perpustakaan sekolah. Minjemnyaa juga hanya boleh satu buku, tidak boleh lebih. Padahal waktu itu saya sedang haus-hausnya membaca.  
Gambar diambil dari http://1.bp.blogspot.com/

  Keterbatasan bacaan saat itu sukses membuat saya tidak bisa tumbuh sempurna menjadi kutu dan tidak  berhasil mengejar gelar kutu. Karena saat sedang haus-hausnya membaca untuk menjelma menjadi seorang kutu buku, bacaan saya amat terbatas. Satu buku seminggu, diselingi majalah bobo yang dibelikan bapak saya, dan Koran-koran serta sisa-sisa buku pelajaran dari Kantor Dinas P&K tempat beliau bekerja. Buku-bukunya juga kebanyakan berbahasa sunda yang tokoh utamnya Aman. Isah dan Ade urang Cicalengka.
Gambar diambil dari http://www.irwan.net/images/stories/gambar2a.jpg
  
Kehausan saya untuk membaca harus menunggu liburan sekolah. Apa hubungannya? Karena saat libur itulah saya bisa bertandang ke rumah uwa yang seorang guru. Di rumahnya ada berdus-dus buku bacaan yang akan dikirim ke perpustakaan sekolah. Biasanya saya boleh minjam untuk dibawa pulang. Saya pun kalap, minjam 10 buku malah habis dalam waktu tiga hari. Padahal bukunya juga kalau dibaca anak-anak sekarang, pasti sudah ogah membacanya. Kurang illustrasi dan hanya hitam putih saja. Tapi  yaa, terima apa adanya saja. Ada buku yang bisa dibaca juga sudah untung. Berhubung kampung saya jauh dari Belanda. Untuk mencapai kota Bandung saja harus menempuh berjam-jam perjalanan. Naik angdes dulu, lalu naik bis gadablag bertuliskan Bandung Majalaya. Lama perjalanan bukan karena saking jauhnya kota Bandung dan Bandung saya yang nyingcet, tapi karena menunggu Bis gadablag itu penuh. Kebayang kan, kalau kita jadi orang pertama yang duduk di salah satu kursinya, berarti harus menunggu 100 orang lagi. Alamakzam, keburu dikutuk si Sirik deh. Dari pakaian necis berubah jadi kusut marisut karena terpanggang dalam bis tak ber-Ac.
Beruntung, lagi masa-masanya paceklik buku seperti itu, datanglah serombongan mahasiswa yang KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari sebuah Universitas Negeri di Bandung. Mereka berbaik hati membangun perpustakaan. Horeee, saya mulai kenal dengan Lima Sekawan  yang baru masuk desa. Saat itu lah saya mulai suka tulisan-tulisan Enid Blyton. Ada Sapta Siaga, serial Elizabeth si Gadis Paling Badung Bengal di Sekolah, dan lain-lain. Saya menyisihkan uang jajan agar bisa menyewa buku seharga 50 rupiah bergambar burung cenrdrawasih, untuk beberapa buku. Waah puas sekali rasanya.
Hello, dengan adanya EMD alias Enid Masuk Desa, saya jadi merasa nggak kudet alias kurang apdet lagi. Bangga rasanya bisa kenal Enid dan cerita-ceritanya yang menawan. Bahkan sampai sekarang, sudah setua ini pun, saya merasa harus tetap mengoleksi buku-buku itu. Tentunya karena keistimewaan buku-buku tersebut nggak ada habisnya di mata saya. Meski buku-buku anak tambah marak, saat ini. Anak-anak abad ini begitu mudah mendapatkan buku. Mulai dari picture book sampai novel-novel anak berbagai genre. Mulai dari dongeng nusantara, fabel, komik, fairy tale, sampai cerita horor. Tinggal pilih sesuai selera.  
Namun berbeda dengan anak-anak zaman dahulu kala, anak sekarang sepertinya lebih memilih buku-buku yang gambarnya meriah. Tanpa melihat isi cerita lebih dulu. Tak jarang saat ke toko buku, saya harus beradu argument dengan anak dalam hal memilih buku yang akan dibeli. Mereka langsung tertarik begitu melihat sampulnya yang meriah. Tapi tetap saya ikuti, yang penting mereka tetap cinta buku. Dan saya juga tetap istiqamah dengan kesukaan saya mengumpulkan buku-buku karangan Enid Blyton dan buku-buku dari masa kecil saya yang tak lekang dimakan waktu, seperti seri rumah kecil yang ditulis oleh Laura Inggals Wilder. 

 Saya jadi berpikir, kenapa buku-buku itu nggak ada matinya? Sedangkan buku-buku terbitan lokal, sekali terbit langsung tumbang. Meski ada juga buku-buku karangan penulis kita bisa cetak sampai berkali-kali. Tapi semoga hal ini menjadi bahan pemikiran untuk para penulis dan juga penerbit, bagaimana agar buku-buku anak di negeri kita bisa sampai ke hati anak-anak. 
 Sependek pengamatan saya, buku-buku anak yang ditulis para penulis dewasa sepertinya kurang mendapat tempat di hati anak-anak karena kurangnya sosialisasi dan pengenalan kepada anak-anak. Penerbit lebih sering menyelenggarakan launching atau talk show untuk buku-buku dewasa saja. Sedangkan buku anak kurang mendapat perhatian. Buku anak yang baru terbit seperti dibiarkan berjalan sendiri. Tahu-tahu sudah terbit dan  bertengger di rak buku. Buku-buku anak itu seperti meronta dan berteriak-teriak tak berdaya mengenalkan dirinya sendiri pada anak-anak yang wara wiri di depan rak buku. Seandainya sebelum nangkring di rak, ada sedikit pengenalan dulu kepada calon pembaca anak-anak, minimal lewat spanduk atau brosur yang dikenalkan di pintu toko buku. Tentu anak-anak akan menjadikannya bahan pertimbangan saat memilih buku yang akan dibeli. Atau bisa juga penerbit dan penulis melakukan road show ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan buku-buku anak yang bermutu. Karena sebetulnya, buku-buku anak yang bertebaran di negeri ini tak kalah bermutu. Buktinya, banyak buku anak dari penulis kita yang diterjemahkan oleh negeri tetangga. Semoga saja, ini menandakan bangkitnya perkembangan buku anak di negeri ini. Karena masa depan anak-anak, salah satunya juga berangkat dari apa yang mereka baca saat ini.  

Tulisan ini diiukut sertakan dalam lomba blog Pameran Buku Bandung dan Syaamil Qur'an






4 komentar:

  1. Ya ampun teteh... itu gambar-gambarnya membuatku terjebak nostalgia hehehe...

    BalasHapus
  2. hehe.. waas nya Teh. apalagi yang paling atas tuh, mungkin itu zamannya nenek moyang kita. tapi saya juga pernah duduk di bangku kayak gitu waktu SD.

    BalasHapus
  3. Huwaaa...buku bahasa Indonesia-nya :D bikin senyum2 mbak :)

    BalasHapus
  4. Mbak Helda... emang ngalamin juga ya, ake buku yang itu, Mbak? :D

    BalasHapus