22 Sep 2013

Cerfet

http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Findahjulianti.com%2Fpelangi-rindu-cerfet%2F&h=hAQGQPva_http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.redcarra.com%2Fcerfet-pelangi-rindu-2%2F&h=rAQGEmSMyhttp://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Frindrianie.wordpress.com%2F2013%2F09%2F16%2Fcerfet-pelangi-rindu-3%2F&h=jAQGZRs76

http://coretanyanti.wordpress.com/2013/09/24/cerfet-pelangi-rindu-5/

Pelangi Rindu



Cerita  Keempat








Rindu ini begitu mendera. Rindu mendengar tawa renyah dan senyum indahmu. Kini aku benar-benar menyesal tak pernah berusaha merekam suaramu saat tertawa. Hatiku perih disayat kerinduan yang tak berujung. Entah kemana lagi aku harus mencarimu. Bayangmu terus berkelebat di pelupuk mataku. Silih berganti bersama bayangan Ibu.

“ Hemmmh.... haaaa.”

Aku menghirup udara lalu membuangnya kembali. Berharap, rindu yang berkarat di bilik jiwa ini dapat terbang bersama napasku, untuk menjemputmu di sana. Di bawah kaki langit tempat kedatanganmu.

Tak sedetikpun kualihkan perhatian dari titik itu. Titik di mana biasanya kulihat senyum indahmu mengembang, seperti kelopak mawar yang purna merekah. Harapanku, aku bisa melihatmu berjalan mendekatiku.

“Kau... kau di sini?” sebuah suara selembut petikan dawai memaksaku berpaling dari sudut seharusnya kau datang.

Aku terkesiap, begitu melihat siapa yang menyapaku. Wajah itu, adalah wajah yang pernah membuat hari-hariku penuh warna. Hadirnya pernah membuat ruang jiwaku semerbak dengan bunga yang baru mekar. Namun dia juga yang telah mengantar hatiku pada keputus asa an.

Dialah yang telah mencerabut rasaku hingga tak bisa lagi mencinta. Karena sepotong hatiku telah pergi bersamanya. Aku benar-benar frustasi saat itu. Dan tak bisa lagi menghadirkan siapa pun di ruang jiwaku. Sampai kau datang menjadi pengobat bagi jiwaku. Kau benar-benar datang selepas gerimis. Begitu indah meniti tangga mejikuhibiniu. Kedatanganmu seperti setetes embun di tengah sahara.

Dan sekarang, saat aku sedang menunggumu di sini, dia tiba-tiba hadir.

“Dulu, saat hatiku tergores perih, kau selalu mengajaku ke tempat seperti ini,” ucapnya lirih. Seakan memberi jawaban pada tatap keherananku tentang keberadaanya.

“Rupanya, kebiasaan itu begitu membekas. Saat air mataku tak dapat lagi kutampung di sudut kamar, aku berlari pada ketenangan yang tak pernah protes dengan hujan air mataku,” lanjutnya lagi.

Sedang aku tetap bergeming. Entahlah, sedalam apa perih itu membekas sampai membekukan tanganku hingga tak mampu terulur untuk menyeka cairan bening yang menderas di wajahnya. Hujan yang kutunggu setiap hari agar bersedia mengantar pelangi ke hadapanku, tak kunjung datang. Ternyata malah hujan air mata yang mengantarkan sosoknya di hadapanku.

Aku hanya menatapnya pilu. Ingin aku berkata bahwa kini aku sedang menunggu hadirmu. Hatiku yang kerontang sedang menanti siraman kesejukan dengan berbincang bersamamu. Seperti saat kedatanganmu tempo hari, di saat aku mengantar Ibu ke peristirahatan terakhir.

“O ya, bagaimana kabar Ibu?” Dia kembali bertanya. Tangannya sibuk mengusap air mata yang terus meleleh.

Aku menggeleng pelan.

“Ibu sudah tiada,” suaraku hampir tak terdengar. Dan aku tak hendak membalas sapanya dengan pertanyaan Kenapa air mata itu terus menderas? Ada apa denganmu?

“Oh...,”

Dia terperangah mendengar jawabanku. Sebelah tangannya refleks menutup mulutnya. Namun aku tak hendak berlama-lama menatapyna. Mataku segera beralih, menatap langit  sore yang begitu cerah. Tak ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera singgah. Lalu mataku kembali melempar harapan, akan kedatanganmu diujung sana. Bersama jingga yang memantul dari matahari yang mulai lelah.

“Aku duluan,” akhirnya aku memberanikan diri mengambil sikap. Memutar langkah untuk segera pergi meninggalkan lembah ketenangan ini. Kaki beradu dengan batang-batang rumput yang mulai meninggi.

“Tunggu!” serunya tanpa ragu.

Langkahku terhenti tanpa menoleh ke arahnya.

“Sebeku itukah hatimu? Hingga tak lagi bertanya tentangku,” ucapnya parau.

Aku masih mematung sambil memejamkan mata. Betul, setega inikah aku kepadanya? Bukankan aku pernah merindunya dalam waktu yang lama dan berharap dia kembali?

“Sungguh, jika ku harus jujur, sebetulnya kau tetap ada di hati ini.” Suaranya mulai terisak.

“Saat itu, kau tak memberiku kesempatan untuk menyampaikan alasan. Padahal ingin sekali aku berteriak, jangan tinggalkan aku, bawalah aku kemana pun kau suka,” kalimatnya terus mengalir tanpa jeda.

“Betapa banyak yang ingin aku sampaikan, namun kau menghilang seperti di telan bumi. Sampai suatu hari aku mendengarmu terluka dan dirawat di rumah sakit.”

Aku masih menyimak kata-katanya.

“Tahukah kau, setiap hari aku bawa langkahku ke Rumah Sakit. Namun aku tak punya keberanian untuk menemuimu. Aku hanya bisa menatapmu dari jauh.”

Benarkah? Apa dia merasakan kerinduan yang pernah kurasakan?Dan rindu itu kini bukan untuknya, melainkan untuk engkau yang selalu kunanti selepas hujan.

“Apa... lukamu masih sakit?” Tanyanya ragu.

Aku tetap membisu. Di hati ingin aku katakan, bahwa lukaku tak seberapa sakit dibanding perih saat dia meninggalkanku untuk seseorang yang tiba-tiba hadir di antara aku dan dia.

“Maafkan, mungkin aku tak pantas menanyakan itu,” lanjutnya lagi.

“Nop,” telapak tanganku kuarahkan kepadanya.

“Kuharap kau memaafkan aku, dan sudilah kiranya kau melongok ke dasar hatiku yang paling dalam. Masih terukir namamu di sana,”

“Kumaafkan, “gumamku sambil segera bergegas meninggalkannya.

Kuanggap hari ini hari ternaas. Harapanku untuk menjemput kedatanganmu, malah dia yang mengahmpiri. Harapanku untuk berdiri di bawah hujan yang berhari-hari tak singgah, malah memaksaku berdiri menyaksikannya hujan air matanya.

Esoknya aku masih menyimpan harap. Semoga senja akan mengantarmu menemuiku. Aku melangkah menuju jembatan lebar berpagar besi nan kokoh. Lalu berdiri di sana, menatap ke barat. Pada sebuah titik tak berujung. Barangkali saja lembayung bersedia membawamu untukku.

“Kalya,”

Antara percaya dan tidak, kini engkau benar-benar datang menghampiriku. Begitu indah, diantar riak air di bawah jembatan yang memantulkan cahaya senja kemerahan.

“Kau, benar-benar datang untukku?” berondongku begitu kulihat senyummu yang merekah di hadapanku.

Anggukanmu yang ritmis seperti pemantik yang menyalakan kembali semangatku.

“Aku kesepian, setelah Ibu tiada. Dan kau tiba-tiba raib,” protesku.

“Kau tak bisa terus menerus begini, sementara aku tak bisa datang setiap saat.”

Kata-katamu terasa pedas di telingaku. Sepertinya, kau hendak meninggalkanku perlahan-lahan.

“Kau jangan menakut-nakutiku, aku tak rela ditinggalkan kesekian kalinya oleh orang yang selalu kuharapkan kehadiranya,” aku menyela.

Tahukah kau, aku begitu trauma dengan makna ditinggalkan? Aku tak sanggup berjalan sendiri. Lukaku belum lagi sembuh, saat satu persatu orang-orang pergi meninggalkanku.

“Kukira, kau tak secengeng itu!” senyumu seperti mengejekku.

“Sudahlah, aku tak ingin membuag waktu dengan hal-hal konyol seperti itu. Sekarang adalah saatnya aku melepas rindu untukmu,” aku mencoba mengalihkan pembicaraan sambil memberikan senyum termanis yang kumiliki.

Dan aku kembali melihat senyum indahnya kembali merekah.

“Kau benar-benar pintar ya, sampai aku selalu kehabisan kata untuk membalas ucapanmu,” mata nya bergerak jenaka. Lalu tawa renyah yang selalu kurindu itu kembali terdengar. Kali ini, aku benar-benar menikmatinya dan tak berniat merekam dengan tape recorder. Aku hanya ingin merekamnya dengan gendang telingaku saja. Hingga aku bisa mendengarnya setiap saat, menemani rindu yang kupahat.





Hmmmmh... alhamdulillaah sudah selesai Mak, bagianku. semoga berkenan yaa, MakPuh dan semuanya. hadeuuh, mohon maaf, seandainnya episode ini bikin cerita jadi ngawur, boleh dianulir kok, hehe. :) dan estafet selanjutnya kuserahkan pada Hairi yanti, moga di tangannya ceritaku ini menemukan arahnya. ini link nya yaa http://tesaiga165.blogspot.com/   Yantiiii... maafkann daku menodongmu yaa, semoga tak mebuatmu klepek-klepek tertembak virus rindu pelangi

6 komentar:

  1. Waaahhh... tiba tiba baca ini jadi gak nyambung.. awalnya apa ya?

    BalasHapus
  2. awalnya ada di rumah Makpuh Injul, trus Mak Carra, Mak Orin, baru saya Mbak Ade :) hehe

    BalasHapus
  3. Waaahhh...ada tokoh baru nih Maaak, tambah seruuuu hohohoho

    BalasHapus
  4. Mbak... Punya yanti pakai blog di Wordpress aja ya. Bukan tesaiga165 itu. Ini lanjutannya : http://coretanyanti.wordpress.com/2013/09/24/cerfet-pelangi-rindu-5/

    BalasHapus
  5. Serunya #Cerfet ya begini, nggak pernah sangka akan bagaimana kelanjutan ceritanya dan juga nanti akhir ceritanya.
    Keren, keren, makin penasaran :)

    BalasHapus
  6. waah... terima kasih Mak, udah pada mampir yaa :) Mak Orin, Mak Yanti, Mak Puh, kita tunggu kelanjutannya yang bikin degdeg serrrr :)

    BalasHapus