25 Sep 2013

Review "Sekotak Cinta untuk Sakina" oleh Hairi Yanti

Menengok Kehidupan Pesantren dalam Sekotak Cinta untuk Sakina

Posted on: September 17, 2013
Kehidupan pesantren memang tidak asing dalam hidup saya. Kakak, beberapa sepupu dan sekarang beberapa orang ponakan saya mengecap pendidikan di pesantren. Mereka punya istilah khusus buat pesantren yaitu penjara suci.
Suci karena mereka masuk ke sana bukan disebabkan tindakan kriminalitas, juga suci karena di sana mereka punya niatan mulia, menuntut ilmu agama. Di sebut penjara karena di sana mereka tidak bebas buat keluar masuk, berpisah dengan keluarga, ada aturan-aturan yang harus ditaati, tidak bebas menonton TV, tidak membawa gadget dan hal-hal lainnya. Seperti terpenjara itulah yang kerap membuat anak-anak ogah masuk pesantren.
Hal itu juga lah yang dialami Sakina. Sakina diminta mamanya buat masuk pesantren karena pekerjaan papanya yang sering berpindah-pindah menurut mamanya akan mengganggu konsentrasi Sakina buat sekolah kalau harus pindah-pindah sekolah terus. Mamanya juga pengin agar Sakina ditempa dengan ilmu agama.
Sakina merasa berat dengan keputusan mamanya. Kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Pindah sekolah, meninggalkan rumah yang nyaman beserta penghuninya dan harus tinggal di tempat yang baru. Tapi, satu perkataan papanya kemudian membuat Sakina berkurang kesedihannya. Apa yang dikatakan papanya? “Kalau benar-benar nggak tahan tinggal di sini, SMS Papa, ya.”

Itu artinya Sakina bisa keluar kapan saja dari pesantren. Hal itu lah yang kemudian membuat Sakina menjalani harinya dengan setengah hati. Sakina melanggar beberapa peraturan dan juga bertengkar dengan temannya.
“Ramenya itu jadi punya banyak teman, Kak. Asyik kalau temenan sama teman-teman di sana.”
Komentar di atas adalah komentar adik sepupu saya ketika saya bertanya apa sih yang seru di pesantren. Itu juga lah yang dirasakan oleh Sakina. Persahabatan Sakina dengan teman-temannya membuat Sakina betah, juga kegiatan-kegiatan lain yang terasa mengasyikkan buat Sakina. Walau begitu, tetap saja Sakina bersikukuh kalau dia hanya untuk sementara tinggal di pondok.
Itulah yang menjadi cerita dalam Sekotak Cinta untuk Sakina. Cerita tentang kehidupan pesantren yang dialami seorang anak. Dalam jagad perbukuan Indonesia, kita mengenal Negeri 5 Menara yang juga bercerita tentang kehidupan pesantren. Sekotak Cinta untuk Sakina kalau menurut saya adalah Negeri 5 Menara versi anak-anak dan lebih girly karena tokohnya adalah anak perempuan.
Saya menyebut demikian karena semangat yang saya dapatkan ketika membaca negeri 5 menara juga saya temukan ketika menghabiskan Sekotak Cinta untuk Sakina. Cerita tentang Imam Syafi’I dan Beethoven yang diselipkan dalam cerita membuat Sakina tampil lebih memukau. Juga tentang menyematkan mahkota di kepala orangtua.
Berhasilnya seorang anak menyelesaikan pendidikan di pesantren itu harus ada keteguhan yang sama antara anak yang menghadapi segala tantangan di pesantren juga keteguhan buat orangtuanya. Tiap orangtua pastilah sayang sama anaknya dan kerap tak tega dengan ‘penderitaan’ sang anak. Jadi kadang ketidaktegaan orangtua dengan kondisi sang anak di pesantren itu bisa menjadikan sang anak lemah dalam menghadapi segala rintangan. Curahan hati orangtua kalau mereka kerap rindu pada anak mereka yang ada di pondok juga bisa melemahkan hati anak. Seperti yang dialami Sakina. Dan apa yang dinasehatkan kak Nadia pada Sakina menjadi penyejuk pada kegundahan hati Sakina.
Para ulama besar itu tidak mendapatkan kesuksesannya dari balik hangatnya pelukan ibu. Tapi, hasil pengorbanan mereka melepas pelukan sang ibu untuk menggali ilmu.
Walau berbentuk novel untuk anak-anak, tapi novel ini memberikan pada saya banyak hal. Nasehat yang saya serap dari cerita, tanpa merasa sedang digurui juga beragam nilai positif yang bisa saya petik selepas membacanya. Membaca Sekotak Cinta untuk Sakina kita akan dapat gambaran tentang kehidupan di pesantren yang ternyata ada juga keasyikan di dalamnya.
Judul : Sekotak Cinta untuk Sakina
Penulis : Irma Irawati
Penerbit : PT. Bhuana Ilmu Populer
Tahun Terbit : 2013 (Cetakan Pertama)
Tebal : 126 Halaman
Bersama Sakina
Bersama Sakina
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba resensi oleh penulisnya di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar