Aku bukan mau menceritakan
si Jepri, anak muda yang suka jualan sayur keliling komplek . Atau si Jepri yang
suka mangkal di terminal. Apalagi Jepri yang dulu pernah ngincer tanteku semasa
gadis. Tapi ini Jepri yang mengikuti jejak Satria Baja hitam, suka berubah
wujud. Akulah yang seketika menjadi
Jepri begitu keluar melewati pintu rumah dan siap bergulat dengan debu jalanan.
Jepri yang wujud aslinya seorang Ibu tiga anak. Sehari-hari menjadi upik abu
yang bergelut dengan susuk dan wajan, kain pel dan sapu, juga cucian dan
detergen. Juga menjadi guru les yang mengajar anak-anak berbagai pelajaran. Bendahara
yang mengatur keluar masuk keuangan. Tak lupa menjadi ibu yang manis dambaan
anak-anak. Tapi dominan menjadi ‘Jepri bin Supri’ Jemputan Pribadi alias Supir Pribadi bagi anak-anakku.
Keadaan dan kebutuhan
lah yang menuntutku untuk menjadi sopir jemputan anak-anaku. Seiring bertambahnya
aktivitas mereka. Mulai dari sekolah, les ini itu, ikut pegajian yang agak jauh
dari rumah, sampai pulang ke rumah asal kami di Bandung. Ya, mau tidak mau kondisi saat ini membuatku harus menjadi
Jepri untuk buah hatiku. Pekerjaan suamiku
yang harus mutasi ke Garut, membuat kami sekeluarga beramai-ramai ikut pindahan.
Dan tanpa bisa dihindari, menciptakan rutinitas
baru di tengah-tengah kami. Yakni harus bolak balik Bandung Garut untuk
mengikuti les Kumon yang sudah terlanjur diikuti. Karena waktu itu, Kumon belum
membuka cabang di daerah Garut. Terkesan memaksakan diri? Aah tidak juga.
Karena anak-anakku terlanjur senang belajar di Kumon. Perjalanan ke Bandung
juga kami anggap perjalanan yang menyenangkan. Sehingga perjalanan Bandung Garut
menjadi serasa dekat.
Dua kali seminggu, aku
harus bolak-balik Bandung Garut. Perjalanan yang dianggap berat oleh
saudara-saudaraku di Bandung, bahkan membuat orang tuaku merasa khawatir.
Sehingga acapkali aku mendapat saran agar berhenti saja mengikuti les. Tapi aku
merasa berat untuk mengikuti saran mereka, karena ini semua demi anak-anakku.
Agar mereka punya basic di bidang Matematika dan Bahasa. Apalagi, anak-anak
merasa senang menjalaninya. Terlebih bagi sulungku yang sedang mondok di sebuah
pesantren anak-anak di Bandung. Dengan
tetap les Kumon, kami tetap menikmati kebersamaan. Karena dua kali seminggu aku
menjemputnya ke Pondok, lalu pergi
sama-sama ke tempat les.
Jika dijabarkan,
sebenarnya aku menempuh rute yang panjang. Dari Garut ke Bandung kurang lebih
70 km, lalu ke pondok tempat si sulung sekitar 13 km. Dilanjutkan ke tempat les
lebih kurang 14 km. Balik lagi ke Pondok untuk mengembalikan si sulung. Dan
kembali melanjutkan perjalanan ke Garut.
Jika dijumlahkan berarti sehari itu aku harus menempuh perjalanan sepanjang 194
km. Belum lagi ditambah macet selama perjalanan. Maka tak bisa dihindari lagi, aku selalu menempuh
perjalanan malam untuk kembali ke Garut.
Kujadikan indah
perjalanan ini dengan mendengar celoteh
si kecil yang kadang membuatku tertawa, atau pertanyaan-pertanyaan anehnya yang
kadang tidak terjangkau oleh pemikiranku. Bahkan perjalanan ini terasa semakin
indah jika si sulung kebetulan sedang libur sekolah dan libur di Pondok.
Sehingga bisa langsung pergi sama-sama dari Garut. Karena di perjalanan itu dia
mengajakku dan adiknya untuk berdzikir. Bibir mungil bocah 7 tahun itu, tak
henti mengucap takbir jika melewati tanjakan dan mengucap tasbih jika melewati
turunan.
Dari celoteh mereka,
dari segala hal yang kulihaat dan kutemui sepanjang perjalanan, aku memungut
serpihan demi serpihan hikmah. Meski tak jarang
perjalanan itu juga dihiasi pertengkaran dengan adik perempuannya yang
berusia 5 tahun. Pertengkaran khas anak-anak. Rebutan mainan, saling geser
tempat duduk, atau tidak mau kalah berceloteh. Tak dipungkiri, pertengkaran itu
kadang mengganggu konsentrasiku jika sedang berpacu dengan padatnya kendaraan
lain. Terlebih lagi saat aku harus uji nyali dengan kendaraan-kendaraan raksasa
di tanjakan Nagreg.
Benar-benar uji nyali.
Tanganku yang biasa memegang susuk dan sapu, harus sigap mengendalikan
persneleng, stir dan rem tangan. Mengatur kupling, rem dan gas agar tetap
stabil di antara rentetan truk, tronton dan bis luar kota yang sama-sama
berjuang melewati tanjakan yang terkenal curam itu. Namun tetap kuambil hikmah,
bahwa tanjakan Nagreg bukan lagi jalan yang kutakuti. Meski tak jarang, aku
melihat berbagai kecelakaan di depan mata. Truk yang terjun bebas, terguling
atau tabrakan sesama kendaraan. Itu
semua menjadi pelajaran berharga bagiku dan anak-anak. Kami belajar arti tawakkal
yang sesungguhnya. Belajar arti kelemahan diri, hingga kami hanya bisa
bergantung padaNya. Dengan tak lelah berdo’a.
Bibir mungil bocah
kecilku juga tak lelah merapal do’a saat kami harus menempuh perjalanan yang
kami rasa tak sanggup menempuhnya tanpa campur tangan Sang Penguasa Alam.
Hahaiii, lebaynyaaa! Ya, sekilas nampa tak sanggup. Saat kami harus pulang
malam, menembus pekatnya jalanan yang
mulai diselimuti gelap. Terseok-seok melewati tikungan demi tikungan tajam dalam hitamnya malam.
Mulai dari tanjakan
Lebak jero yang curam, yang terkadang kami menemukan truk yang ngos-ngosan dan
mundur lagi. Kemudian Leuweung Tiis yang begitu gelap dan tak ada cahaya
sedikitpun, kecuali jika bertemu kendaraan lain. Padahal jalanan di sini
menurun dan bertikungan tajam. Konon menurut teman-teman yang orang Garut,
mereka memiliki kepercayaan bahwa jika melewati jalanan ini haruslah melempar
rokok.
“Lhaah aku kan emak-emak, masa iya
bawa-bawa rokok?”
“lempar obat nyamuk saja!” saran mereka.
Ooh tidak! Aku hanya ingin bertawakkal
saja pada Yang Maha Memiliki Kegelapan. Aku hanya memohon perlindunganNya saja
dalam melalui jalanan seperti ini. Setelahnya, barulah melewati Leles yang
lumayan rame. Tapi setelahnya, masih ada beberapa tanjakan dan rentetan tikungan yang harus kutempuh, yakni
Tutugan Haruman. Jalanan ini terasa
meliuk dan menanjak karena ternyata memang letaknya di punggung Gunung Haruman.
Tapi inilah tanjakan terakhir yang harus kulalui.
Di Tutugan haruman ini,
aku mempunyai kenangan manis dengan putri kecilku yang sabar. Saat itu
sebenarnya ia sangat cape untuk menempuh perjalanan. Karena tiga hari
berturut-turut, kuajak ia bolak balik Bandung Garut untuk sebuah urusan.
Ditambah hari ini yang merupakan hari wajibnya ke Bandung. Wajar kalau ia merasa
lelah dan terus mengeluh. Cape, bosan dan segala macam. Tapi, tiba-tiba putriku
yang sedang nggak mood itu bersorak
dengan riangnya. Dia girang sekali melihat bintang bertaburan di hitamnya langit.
Subhaanallah, seruannya benar-benar menghiburku. Dia begitu
gembira memandangi taburan bintang yang berkilauan. Sementara, bintang
yang ia tahu selama ini adalah bintang yang terbuat dari kertas berwarna
keemasan yang diberikan bu Gurunya jika ia bersikap manis dan berprestasi di kelas TKnya. Tak heran saat matanya
tertumpu pada taburan bintang di langit itu pun, dengan riang ia katakan
sebagai hadiah.
“Tapi, hadiah dari siapa ya Mi?” tanyanya polos.
“Dari Allah!” jawabku tak kalah riang.
“Hadiah untuk anak yang sabar dan tidak
takut melewati malam yang gelap”.
Akhirnya, perjalanan
malam itu pun menjadi indah karena berhadiah bintang. Kepalanya terus tengadah
ke langit. Mata beningnya terus menatap bintang yang bertabur indah. Bibir
mungilnya terus berseru.
“Bintangnya bertambah banyak!”
“Iya dong, kan sabarnya juga bertambah.”
Aku tak mau kalah.
“Terimakasih ya Allah, telah memberi
hadiah Bintang. Allah baik ya Mi.” Ungkapan dari bibir mungilnya itu terasa
begitu menyejukan penatku. Ah gadis kecilku, bening hatimu memaknai ciptaanNya,
mengantarkan ibumu menyelami makna lain dibalik pekatnya malam. Di antara deru
kendaraan yang melaju di malam hari, yang lebih mirip monster bermata besar.
Bergerak seperti hendak menerkam.
Sekali waktu, di
Tutugan Haruman itu juga aku berdua
gadis kecilku pernah terseok-seok di gelapnya malam berhujan lebat. Hujan turun
begitu derasnya, membuat jarak pandang
sangat pendek. Hanya sekitar 5 meter. Pantas, ada teman yang menghindari
perjalanan malam. Terlebih di situasi berhujan seperti saat itu. karena memang
membuat lutut bergetar dan hati ketar-ketir. Mana bawa bocah kecil lagi. Putri
kecilku tak lelah merapal takbir, menguatkan do’a yang kupanjatkan dalam hati.
Hingga tiba di gerbang komplek tempat tinggalku, barulah dia berujar
“do’anya
selesai ya mi, udah pegel!”.
Pernah juga saat hujan
lebat sore hari, masih di Tutugan haruman, kami melihat pasangan muda yang
mengendarai motor sambil menggendong bayi. Mereka tampak kerepotan melindungi
bayinya dari air hujan. Anak-anak merasa trenyuh dan menyuruhku untuk mengajak
sang ibu dan bayinya menumpang kendaraan kami. Tapi laju kendaraanku tak mampu
menjejeri motor yang berlari kencang itu. Ah sayang sekali, hingga mereka terus
teringat dengan bayi yang kehujanan itu.
Sampai saat ini, aku
masih tetap seorang Jepri bagi anak-anakku. Menjemput mereka dari Sekolah,
mengantar les Kumon dan les piano. Kali ini sedikit ringan, karena ada hal yang
kuyakin bukan serba kebetulan. Tapi berkat skenario Sang Maha Pengatur
kehidupan lah yang membuat perjalananku sebagai Jepri sedikit berubah. Saat
kehamilan anak ketigaku menginjak usia 12 minggu, Kumon membuka cabangnya di Garut.
Subhaanallaah, anugrah yang begitu besar. Dan sulungku yang di Pondok tiba-tiba
ingin pindah sekolah ke Garut. Dengan terpaksa kuizinkan ia keluar dari Pondok
dan pindah ke Garut, karena ternyata tugas suamiku di Garut juga diperpanjang.
Ya, jalan cerita ini membuat langkahku sebagai Jepri menjadi lebih efektif. Semua aktifitas terfokus di Garut. Jadi aku
tetap nyaman menjadi Jepri meski aku tengah hamil.
Seiring waktu,
kehamilanku kian membesar. Perutku hampir tak muat lagi berada di belakang
stir, hingga suamiku mempekerjakan seorang sopir untuk antar jemput anak
sekolah. Tapi aku kok malah nggak nyaman dengan cara sang sopir ini membawa
kendaraan. Belum lagi dengan ulahnya yang suka mengeluh. Akhirnya, hanya 2
bulan aku sanggup menyewa sang sopir. Begitu bayiku lahir, aku langsung
mengambil alih tugasku sebagai Jepri yang sesungguhnya.
Maka
sejak usia seminggu, bayiku telah kuajak beredar mengantar kakak-kakaknya ke
sekolah, tempat les, mengaji dan sebagainya. Aku tetap setia dengan tugasku
sebagai Jepri bin Supri. Dengan bayi yang tergolek manis di atas car sheet di
jok sebelahku. Kadang dia menangis minta mimi. Dan aku membawa kendaraanku ke
tepi untuk memberinya ASI. Kadang membiarkannya menangis karena tengah berada
di posisi yang tanggung, semisal jalanan sempit atau kondisi macet.
Kuharap,
aku tetap bisa mengantarkan putra-putriku melewati proses perkembangannya. Aku
akan tetap menemani hingga menemukan pintu yang akan membawa mereka pada sebuah
perjalanan masa depan. Hingga mereka menemukan titik ternyaman untuk bisa
berjalan sendiri. Meski aku harus membagi perhatian untuk bayiku. Meski aku
harus menjadi sopir yang juga menyusui.
Sama sekali bukan sebuah kendala.
Tempo hari, perjalanan
kami ke Bandung agak tersendat karena jalur Nagreg sedang perbaikan jalan.
Terpaksa aku mengambil jalur Cijapati yang terkenal dengan tanjakannya yang
curam. Alhamdulillaah, bayiku sama sekali tidak menjadi kendala untuk menempuh
perjalanan sulit sekalipun. Begitu juga saat mengantar kakak-kakaknya mengikuti
pelatihan menulis yang diadakan di Bandung oleh Sahabat Cahaya Writing Club. Di
pagi buta, bayi mungilku sudah tergolek
manis di atas kursinya di sebelahku. Sesekali ia menangis minta ASI, atau minta
ganti popok.
Pulangnya, kami
terjebak macet. Sementara hari mulai merambah malam. Bayiku menangis minta ASI.
Dua kakaknya bekerjasama menghibur adik bayi. Alih-alih kerjasama, malah
berebut untuk sama-sama meredakan tangisnya. Hingga yang ada, bukan tangisnya
yang reda, malah dua kakak jadi berantem saling menyalahkan. Di tengah macet yang
tak bergerak itulah kuusahakan memberinya ASI walau sejenak. Begitu kendaraan
bergerak, kembali kubaringkan di kursinya. Terus begitu berulang-ulang.
Sekilas, perjalanan ini
tampak melelahkan. Perjalanan malam, macet, ditingkahi tangisan bayi dan
kehebohan dua bocah yang berebut mendiamkan sang bayi. Tapi ada kebahagiaan dan
kepuasan yang memenuhi ruang hatiku. Aku bahagia mengantarkan anak-anakku untuk
mencari pintu mana yang cocok untuk mereka masuki. Pintu yang akan
mempersilahkan mereka duduk nyaman dalam dunia yang diminatinya. Selama tangan
dan kaki ini bisa kugerakan, akan kuantar mereka kemanapun untuk mencari jati
dirinya. Agar mereka bisa menjadi khalifah sejati di muka bumi ini. Bismilaah!
Jepri yg lembut dan tegar... Sipp..kisahnya.
BalasHapushehe... aamiin, Mbak Cahaya. Terima kasih sudah mampir :)
Hapus