25 Sep 2013

Revieew "Sekotak Cinta untuk Sakina Oleh Mbak Nurul Ikoma


NOVEL SERI ANAK SHOLEH

Judul Buku : Sekotak Cinta Untuk Sakina
Penulis : Irma Irawati
Penerbit : Qibla (imprint Bhuana Ilmu Populer)
Cetakan : I / 2013
Tebal : 126 halaman

Sakina kecewa ketika Mama memasukkannya ke pondok pesantren. Ia merasa pondok pesantren bukanlah tempat pendidikan yang bagus seperti sekolah Sakina sebelumnya. Tapi betapa senang Sakina ketika Mama dan Papa akan menjemputnya segera jika ia benar-benar tak tahan tinggal di pondok pesantren. Maka baginya masuk pondok pesantren hanya percobaan saja, karena bagaimanapun juga ia tetap ingin bersama Papa, Mama dan adiknya.

Hari-hari berlalu, ternyata banyak hal yang membuat pemikiran negatif tentang pondok pesantren berubah menjadi positif di mata Sakina. Orang-orang yang Sakina temui pun sanggup membuat Sakina berpikir ulang untuk meninggalkan pondok pesantren itu. Tak hanya itu, seekor ayam jantan yang bernama Blorok juga mampu membuat Sakina ragu dengan keputusannya untuk meninggalkan pondok. Tapi sayangnya Sakina malu mengakui semua itu. Lalu bagaimana kisah selanjutnya? Hadiah apa yang membuat Sakina terharu ketika ia hendak meninggalkan pondok?

Buku Sekotak Cinta Untuk Sakina ini sangat menarik untuk dibaca. Keinginan Sakina memberi mahkota untuk kedua orangtuanya di surga membuat mata saya berkaca-kaca. Banyak cerita yang membuat saya terharu dan terkesan. Bahkan Saya ingin sekali mendapat hadiah yang serupa seperti Sakina. Hadiah yang sangat luar biasa. Yuk, cari tahu hadiah apa yang diterima Sakina!

Review "Sekotak Cinta untuk Sakina" oleh Hairi Yanti

Menengok Kehidupan Pesantren dalam Sekotak Cinta untuk Sakina

Posted on: September 17, 2013
Kehidupan pesantren memang tidak asing dalam hidup saya. Kakak, beberapa sepupu dan sekarang beberapa orang ponakan saya mengecap pendidikan di pesantren. Mereka punya istilah khusus buat pesantren yaitu penjara suci.
Suci karena mereka masuk ke sana bukan disebabkan tindakan kriminalitas, juga suci karena di sana mereka punya niatan mulia, menuntut ilmu agama. Di sebut penjara karena di sana mereka tidak bebas buat keluar masuk, berpisah dengan keluarga, ada aturan-aturan yang harus ditaati, tidak bebas menonton TV, tidak membawa gadget dan hal-hal lainnya. Seperti terpenjara itulah yang kerap membuat anak-anak ogah masuk pesantren.
Hal itu juga lah yang dialami Sakina. Sakina diminta mamanya buat masuk pesantren karena pekerjaan papanya yang sering berpindah-pindah menurut mamanya akan mengganggu konsentrasi Sakina buat sekolah kalau harus pindah-pindah sekolah terus. Mamanya juga pengin agar Sakina ditempa dengan ilmu agama.
Sakina merasa berat dengan keputusan mamanya. Kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Pindah sekolah, meninggalkan rumah yang nyaman beserta penghuninya dan harus tinggal di tempat yang baru. Tapi, satu perkataan papanya kemudian membuat Sakina berkurang kesedihannya. Apa yang dikatakan papanya? “Kalau benar-benar nggak tahan tinggal di sini, SMS Papa, ya.”

Itu artinya Sakina bisa keluar kapan saja dari pesantren. Hal itu lah yang kemudian membuat Sakina menjalani harinya dengan setengah hati. Sakina melanggar beberapa peraturan dan juga bertengkar dengan temannya.
“Ramenya itu jadi punya banyak teman, Kak. Asyik kalau temenan sama teman-teman di sana.”
Komentar di atas adalah komentar adik sepupu saya ketika saya bertanya apa sih yang seru di pesantren. Itu juga lah yang dirasakan oleh Sakina. Persahabatan Sakina dengan teman-temannya membuat Sakina betah, juga kegiatan-kegiatan lain yang terasa mengasyikkan buat Sakina. Walau begitu, tetap saja Sakina bersikukuh kalau dia hanya untuk sementara tinggal di pondok.
Itulah yang menjadi cerita dalam Sekotak Cinta untuk Sakina. Cerita tentang kehidupan pesantren yang dialami seorang anak. Dalam jagad perbukuan Indonesia, kita mengenal Negeri 5 Menara yang juga bercerita tentang kehidupan pesantren. Sekotak Cinta untuk Sakina kalau menurut saya adalah Negeri 5 Menara versi anak-anak dan lebih girly karena tokohnya adalah anak perempuan.
Saya menyebut demikian karena semangat yang saya dapatkan ketika membaca negeri 5 menara juga saya temukan ketika menghabiskan Sekotak Cinta untuk Sakina. Cerita tentang Imam Syafi’I dan Beethoven yang diselipkan dalam cerita membuat Sakina tampil lebih memukau. Juga tentang menyematkan mahkota di kepala orangtua.
Berhasilnya seorang anak menyelesaikan pendidikan di pesantren itu harus ada keteguhan yang sama antara anak yang menghadapi segala tantangan di pesantren juga keteguhan buat orangtuanya. Tiap orangtua pastilah sayang sama anaknya dan kerap tak tega dengan ‘penderitaan’ sang anak. Jadi kadang ketidaktegaan orangtua dengan kondisi sang anak di pesantren itu bisa menjadikan sang anak lemah dalam menghadapi segala rintangan. Curahan hati orangtua kalau mereka kerap rindu pada anak mereka yang ada di pondok juga bisa melemahkan hati anak. Seperti yang dialami Sakina. Dan apa yang dinasehatkan kak Nadia pada Sakina menjadi penyejuk pada kegundahan hati Sakina.
Para ulama besar itu tidak mendapatkan kesuksesannya dari balik hangatnya pelukan ibu. Tapi, hasil pengorbanan mereka melepas pelukan sang ibu untuk menggali ilmu.
Walau berbentuk novel untuk anak-anak, tapi novel ini memberikan pada saya banyak hal. Nasehat yang saya serap dari cerita, tanpa merasa sedang digurui juga beragam nilai positif yang bisa saya petik selepas membacanya. Membaca Sekotak Cinta untuk Sakina kita akan dapat gambaran tentang kehidupan di pesantren yang ternyata ada juga keasyikan di dalamnya.
Judul : Sekotak Cinta untuk Sakina
Penulis : Irma Irawati
Penerbit : PT. Bhuana Ilmu Populer
Tahun Terbit : 2013 (Cetakan Pertama)
Tebal : 126 Halaman
Bersama Sakina
Bersama Sakina
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba resensi oleh penulisnya di sini

Review "Sekotak Cinta untuk Sakina " oleh Mbak Siti Sofiah

(Pesantren Impian) Sekotak Cinta Untuk Sakina

" Kan aku sudah bilang, aku ingin hafal Al-Qur'an agar aku bisa memasangkan mahkota bertabur cahaya pada ayah ibuku di surga nanti," tutur Lana lugu. (Sekotak Cinta Untuk Sakina, hal 96-97)


Semakin meleleh air mata keluar di hari kedua saya membaca buku ini, yach saya butuh waktu lebih dari sehari untuk membaca novel anak  Sekotak Cinta Untuk Sakina karena tahu isi nya  bagus ketika saya baru membaca lembar halaman pertama nya dan saya tidak ingin cepat menyelesaikan membaca novel ini.

Deg...ada yang membuat saya tidak nyaman ketika membaca tulisan motivator terkenal di sini, dalam tulisan nya di simpulkan telah terjadi dua pola pengasuhan yang dilakukan kelas menengah yang ada di negeri ini.
Dalam tulisan itu disebutkan satu pola pengasuhan cenderung  mengekang habis anak-anak dengan dogma, agama dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak alim yang amat konservatif. Kemudian pola pengasuhan itu  pun sama masalahnya dengan orang tua yang lari dari dunia nyata dan berlindung dalam benteng-benteng dogma dengan menyembunyikan anak dari dunia riil ke tangan kaum konservatif yang menjadikan anak hidup dalam dunia yang gelap dan steril.

Jujur....saya kurang setuju dengan apreasiasi sang motivator yang menyebut (semoga saya keliru) pesantren dengan dunia yang gelap dan steril serta para pengasuh nya, ustadz/ustadzah/kyai/nyai/ ummi di pesantren dengan sebutan kaum konservatif.

Sedih hati ini (jika dugaan saya betul), Apabila para ulama  yang di sebut juga  generasi pewaris Nabi yang lazim menyampaikan ilmuNya dalam lingkungan pesantren di sebut demikian. Andai, tidak ada ulama 'alim (ber-ilmu) dan hanif (lurus/terpercaya) yang mengingatkan manusia untuk menaati dan menerapkan aturanNya serta menjauhi laranganNya. Pasti nya umat muslim saat ini tidak ada beda nya dengan orang-orang barat yang liberal yang memisahkan dunia dengan agama, kita (muslim) akan berlaku sesuka hati seolah-olah hidup di dunia ini selama nya. Dan cukup (hanya) teguranNya dari kejadian alamNya bisa membuat nikmat umurNya bisa saja di ambil olehNya. Pertanyaan nya, sudah siap kah kita jika esok hari kita di ambil nikmat umurNya itu? Bekal apa yang akan kita bawa untuk menghadapNya di yaumul hisab nanti?
(merinding dan takut diri ini jika mengingat ajal, hiks...sambil mengaca hamba masih banyak khilaf, masih tak layak hamba masuk jannahNya dan tak sanggup juga jika nanti kelak masuk ke panas jahanamNya. Astaghfirullah)

Melihat fakta dunia pendidikan di negeri ini, yang kurikulum nya selalu berubah dan  berganti tergantung motif serta kepentingan tertentu. Saya sebagai orang tua (baru) empat amanahNya sepertinya cenderung memberikan pendidikan agama sebagai bekal anak-anak menjalani hidupNya yang  fana (sementara), keadaan negeri ini yang semakin terpuruk, jurang perbedaan dan  kesenjangan hidup antara si kaya dan si miskin adalah  ujian bagi masing-masing hambaNya untuk selalu taat dan menerapkan syariatNya serta menjauhi laranganNya.
Semoga view seperti ini kelak juga di miliki anak-anak saya untuk menjadi prinsip hidup bahwa hidup di dunia harus memakai aturan hidupNya bukan aturan buatan manusia, aamiin.

Dalam sekejap , hidup Sakina akan berubah. Hanya dalam hitungan hari, dia harus berani untuk pindah sekolah. Tidak hanya pindah sekolah, tapi juga berani untuk tinggal di tempat baru dan berpisah dengan mama dan papa. ( Sekotak Cinta Untuk Sakina, hal 2)

Awal tulisan di novel ini di mulai dengan konflik hati yang dirangkai dengan kalimat yang menyentuh terlihat dari dialog antara mama dan Sakina. Bu irma Irawati, penulis novel ini mampu membuat saya mbrebes hampir mili di halaman awal bab pertama .

Selanjut nya, pembaca akan di ajak memasuki dunia pesantren yang humanis dan menyenangkan walaupun tempat nya jauh dari keramaian dan di kaki gunung. Di kisahkan di novel ini, layak nya anak yang baru masuk pesantren dan tidak betah (homesick) Sakina berusaha untuk tidak sungguh-sungguh belajar di pondok pesantren agar semester depan mama dan papa menjemput Sakina kembali ke rumah.

Bu Irma Irawati berhasil membuat dialog yang seru dan hidup untuk menggambarkan kehidupan di pondok pesantren putri. Dengan bahasa khas anak-anak, Bu irma mampu membawa pembaca tidak bosan untuk terus membaca novel ini sampai selesai.
Dialog antara Sakina dan teman-teman sekamarnya, kak Nadia, Amara, Vinka, Hauna, Fira dan si kembar Naila dan Kaila. Kemudian dialog antara para santri dengan ummi (ibu guru pembimbing), Bibi asrama dan mamang penjaga pesantren di tulis sangat apik dengan bahasa yang ringan namun penuh hikmah.

lagi-lagi, ucapan kak Nadia menyentuh kalbunya semakin dalam. Betapa benar ucapan itu. " Aku ingat kata Umi Haya tempo hari, para ulama besar itu tidak mendapatkan kesuksesan nya dari balik hangatnya pelukan ibu. Tapi, hasil pengorbanan mereka yang harus melepas pelukan sang ibu untuk menggali ilmu". (Sekotak Cinta  Untuk Sakina, hal 104)

Dialog di atas itulah yang membuat saya langsung tertarik membeli novel anak yang bagus ini, dan saya ternyata tidak keliru. Novel ini memang bacaan bagus buat anak-anak dan orang tua.

Anak-anak akan di berikan pandangan yang berbeda tentang pondok pesantren. Pondok pesantren yang ideal, nyaman dan menyenangkan baik lingkungan maupun pengasuh nya akan memberikan kenangan yang indah buat anak-anak.

Dan bagi orang tua, novel anak ini akan memberikan kita (para orang tua) wacana baru tentang kehidupan di pondok pesantren yang menyenangkan dan membuat anak-anak betah tinggal di sana. Ya, sebuah potret pesantren yang ideal buat menempa anak-anak kita menjadi generasi Qur'ani yang tidak hanya menghafalkan Al Qur'an saja tetapi juga mengamalkan nya dalam kehidupan sehari-hari.

Saya sendiri sebagai orang tua, mendapat kan banyak sekali ilmu dari novel anak Sekotak Cinta Untuk Sakina ini. Orang tua belum tentu benar mendidik anak yang baik, tetapi orang tua yang benar adalah orang tua yang mau terus belajar untuk mendidik anak yang benar (dengan standar Islam tentu nya). Banyak dialog di dalam novel anak Sekotak Cinta Untuk Sakina yang bisa saya sampaikan ke anak-anak saya. Bagaimana mengenalkan ke mereka tentang hafidz penghafal Qur'an yang mendapat posisi yang istimewa di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW. Para penghafal Qur'an menjaga Alquran lewat hafalan akan mendapat posisi yang terhormat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.


Pada zaman Rasulullah SAW, para penghafal Qur'an mendapat penghargaan khusus dari beliau SAW.  Hal itu  terjadi ketika proses pemakaman para syuhada yang gugur di Perang Uhud. "Adalah nabi mengumpulkan di antara dua orang syuhada Uhud kemudian beliau bersabda, "Manakah di antara keduanya yang lebih banyak hafal Alquran, ketika ditunjuk kepada salah satunya, maka beliau mendahulukan pemakamannya di liang lahat." (HR Bukhari)

Dalam hal memilih pemimpin pun Rasulullah  SAW  lebih mempercayai orang yang memiliki hafalan Alquran paling banyak. Dari Abu Hurairah ia berkata, "Telah mengutus Rasulullah SAW sebuah delegasi yang banyak jumlahnya, kemudian Rasul mengetes hafalan mereka, kemudian satu per satu disuruh membaca apa yang sudah dihafal, maka sampailah pada Shahabi yang paling muda usianya, beliau bertanya, "Surah apa yang kau hafal?
"Aku hafal surah ini.. surah ini.. dan surat Al Baqarah."
"Benarkah kamu hafal surat Al Baqarah?" Tanya Nabi lagi.
‘’Benar,’’ jawab Shahabi
Nabi bersabda, "Berangkatlah kamu dan kamulah pemimpin delegasi." (HR At-Turmudzi dan An-Nasai)

Para penghafal Qur'an juga di berikan Allah SWT posisi yang amat mulia. "Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, "Siapakah mereka ya Rasulullah?" Rasul menjawab, "Para ahli Alquran. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya." (HR Ahmad).
Dan sebalik nya, Nabi Muhammad  SAW mengibaratkan orang yang tak memiliki hafalan Alquran sebagai gubuk kumuh yang nyaris roboh. "Orang yang tidak mempunyai hafalan Alquran sedikit pun adalah seperti rumah kumuh yang mau runtuh." (HR Tirmidzi).
MasyaAllah, begitu tinggi dan mulia Allah SWT dan Rasulullah SAW memberikan nikmat dunia dan akhirat untuk hambaNya yang mau menghafal Qur'an (Hafidz).

"Kamu ridha tinggal di sini dan siap berjauhan dengan mama?", suara mama parau. Sakina kembali mengangguk sambil tersenyum. (Sekotak Cinta Untuk Sakina, hal 118)

Ending yang menyenangkan buat pembaca novel ini, namun para pembaca di jamin banjir air mata sebelum selesai membaca nya.
Penasaran ya, yuuk segera koleksi novel anak bagus ini di rumah kita.

Judul : Sekotak Cinta untuk Sakina
Penulis : Irma Irawati
Penerbit : PT. Bhuana Ilmu Populer
Tahun Terbit : 2013 (Cetakan Pertama)
Tebal : 126 Halaman
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba resensi oleh penulisnya di sini

Review "Sekotak Cinta untuk Sakina" oleh Mbak Nur Baidha

Sekotak Cinta Untuk Sakina, Sekotak Pengalaman Berharga

Standar
Image


Penulis : Irma Irawati
Penerbit : Qibla (PT. Bhuana Ilmu Populer)
Tahun Terbit : Cetakan 1, 2013
Tebal : 123 Halaman, Soft Cover
Genre : novel anak sholeh (middle grade)

Sungguh sangat sulit bagi anak yang terbiasa hidup enak, dituntut harus beradaptasi di pondok pesantren yang serba sederhana. Lokasi yang masih pedesaan, fasilitas minim dan memelihara hewan kesayangan.

Inilah yang terjadi pada Sakina.

Ia tahu, bahwa tak ada alasan yang lebih baik selain mengikuti keinginan orangtuanya untuk bersekolah di pondok pesantren putri Halimah Sa’diyah Bandung. Berbagai pengalaman yang Sakina alami, mulai dari keinginan untuk segera pulang ke Bandung, pengalamannya memelihara Blorok, si ayam jantan kesayangannya, warna warni persahabatan di kamar Malahayati hingga pengalaman mengharukan bersama Lana, anak yatim piatu yang datang dari Flores.

Saat awal membaca buku ini, aku kurang terkesan. Bagiku, Bab I terasa kaku dan kurang nendang. Mungkin karena efek psikologis, aku membacanya sambil mengisi kebosanan di kantor. Rasanya, kalimat-kalimat opening sedikit membuat keningku berkenyit. Kayaknya nih, penulis berpikir keras dalam memilih kata yang tepat.

Namun memasuki Bab II dan seterusnya, huih… jauh banget!. Cerita disampaikan mengalir, penempatan hadist, kata bijak yang sangat tepat tanpa kesan mengurui. Apalagi saat bercerita tentang Lana, aku sampai larut dalam rasa empati yang terlampau besar. Hua… sepertinya penulis demam panggung, opening sedikit berkeringat dan kaku, tapi semakin lama, semua tersampaikan dengan smooth, jelas dan menarik.

Ide cerita terbilang biasa. Mengangkat fenomena di kalangan muslim yang kesulitan menempatkan anak pada pilihan orangtuanya. Tentu saja pilihan untuk bersekolah di pondok pesantren. Sebut saja buku Negeri 5 Menara yang sukses mengisahkan tentang seorang Alif yang harus merantau mengikuti keinginan orangtuanya untuk mondok di pondok pesantren Madani. Begitu pula dengan Sakina dalam buku ini, walau ide cerita biasa-biasa saja, penulis berhasil menggambarkan secara apik tentang bagaimana kehidupan Sakina selama di pondok, penuh dengan kasih sayang, kegiatan yang menggugah hati dan kesederhanaan.

Aku suka model pondok pesantren putri yang ada dalam cerita ini. Selama ini, aku sedikit memandang sebelah mata terhadap sebuah pondok pesantren. Bagiku (khususnya di daerah tempat tinggalku), pondok pesantren terkesan komersil, mengeruk banyak dana orangtua tanpa ada pembelajaran kemandirian pada santrinya. Banyak sepupuku yang lulusan pondok pesantren di daerahku, pulang membawa segudang kemalasan, boros dan tak tahu masalah pekerjaan rumah. Mereka hanya tahu berbahasa Arab dan telepon kiri kanan. Hafal qur’an pun mentok pada juz 30 dan 29. Tapi pondok pesantren Sakina, membesarkan hatiku. Betapa program menghafal qur’an itu sangat penting, membawa kami pada mahkota surga. Dan betapa program memelihara hewan, bermain permainan tradisional dan berbaur dengan masyarakat pedesaan adalah proses pembelajaran bagi santri menuju gerbang kemandirian. Hua.. salut, penulis benar-benar T.O.P!.

Kelebihan lain dari buku ini, font yang lumayan besar memudahkan anak-anakku untuk membaca. Mereka tidak kelelahan dan mengikuti lembar per lembar kisah-kisah Sakina. Kadangkala mereka tertohok karena anak-anakku tak jauh berbeda dengan Sakina, masih suka bermain game di handphone. Dan kadangkala mereka bertanya,

“Umi, kalau sekolah di pondok pesantren itu umi tak ikut ya?, kenapa begitu?.”

“Seperti apa kamar yang ada di pondok pesantren?”

dan beberapa pertanyaan lainnya yang terlontar secara kritis dari bibir mungil anakku. Dan suka.. sangat suka efek yang terjadi pada anak-anakku saat membaca buku Sekotak Cinta Untuk Sakina.

Buat mbak Irma, aku suka caramu. Tak ada humor dan tak ada ide yang fantastis. Tak ada hantu yang mendebarkan atau kurcaci yang lucu. Sebaliknya, semua hanya berawal dari hal biasa yang mampu kau sampaikan secara luar biasa. Good job mbak Irma!.

Review "Sekotak Cinta Untuk Sakina" oleh Mbak Esti

Sekotak Cinta untuk Sakina

Author: Esti Sulistyawan Genre: »
Rating
Judul Buku   : Sekotak Cinta untuk Sakina
Penulis         : Irma Irawati
Penerbit       : Qibla - Buana Ilmu Populer
Cetakan       : I/2013
Tebal           : 126 halaman
ISBN 10      : 602-249-318-8
ISBN 13      : 978-602-249-318-1
Sekotak Cinta untuk Sakina:
"Kan aku sudah bilang, aku ingin hafal Al-Quran agar aku bisa memasangkan mahkota bertabur cahaya pada ayah dan ibuku di surga nanti," tutur Lana lugu. (SCUS, hlm.96-97)
Mendengar kata 'pesantren', membuat saya teringat cerita seorang teman yang ingin memasukkan putranya di sekolah berasrama tersebut. ALasannya agar si anak bisa menjadi hafidz atau penghapal Al-Quran. Orang tua si anak sangat bersemangat, bahkan berusaha membujuk dengan berbagai cara, tetapi sayang sekali si anak tidak mau dan menentang keras. Alasannya klise, tidak mau berpisah dengan orang tua dan teman-temannya. Ahhirnya orang tuanya mengalah, si anak bersekolah di sekolah berbasis agama.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Sakina. Sakina adalah sosok anak kota yang berkecukupan. Memiliki segudang kegiatan seperti les piano  dan les bahasa Prancis. Dia pun bersekolah di sekolah berbasis agama yang bergengsi. Ketika dia mengetahui mamanya memasukkannya di sekolah pesantren putri yang jauh dari gemebyar hal-hal berbau kota, dan bisa ditebak  Sakina menolaknya. Akan tetapi, si Mama dengan sabar memberikan pengertian, mengapa beliau mengirimnya ke pesantren. Selain karena pengasuh pesantren adalah temannya sewaktu di pesantren dulu, juga karena alasan pekerjaan papanya yang berpindah-pindah. Mendengar alasan Mamanya yang masuk akal, membuat Sakina tidak dapat beradu argumen lagi. Dengan pasrah dia mengikuti kemauan orang tuanya.
Akhirnya tiba juga saat dimana Sakina harus diantar ke pesantren. Sepanjang perjalanan Sakina murung . Ketika sampai di pesantren, air matanya tak terbendung lagi. Hingga Papanya berjanji jika dia tidak betah, mereka akan menjemputnya. Oh oh..ternyata itu perkataan yang tidak seharusnya dikatakan oleh si Papa. Karena sejak saat itu, Sakina menjalani kehidupannya di pesantren dengan ogah-ogahan. Sering terlambat untuk solat berjamaah, sering melalaikan tugas dan sering melanggar peraturan dengan diam-diam. Sakina merasa tidak bersalah, karena toh dia cuma sebentar di pesantren.
Hingga pada suatu waktu, ia dihukum karena lemari pakaiannya yang berantakan. Beuh, malu bener Sakina menjalani hukuman selama seminggu itu. Dari situ dia bertekad untu menjalani kehidupan pesantrennya dengan baik. Gak lagi-lagi deh dihukum.
Pengalaman-pengalaman di pesantren satu-persatu membuatnya gamang untuk kembali ke kota. Teman-teman yang baik, kegiatan yang dilakukan bersama-sama, hafalan Al-Qur'annya semakin banyak, tidak ketinggalan ayam jantan yang disayanginya. Apalagi ketika dia mendapat hadiah sekotak hadiah yang berisi cinta dari teman-temannya. Kemudian pertemuannya dengan Lana, gadis kecil yatim piatu yang cerdas.
-----000-----
Semula saya hanya berpikir, apa keuntungannya memasukkan anak ke pesantern? Bukankah anak-anak tetap bisa menimba ilmu dengan baik di sekolah umum. Membaca Sekotak CInta Untuk Sakina ini membuat saya menjadi mengerti, alasan apa yang membuat orang tua ingin memasukkan putra-putri mereka ke pesantren. Mereka ingin agar putra-putri mereka bisa fokus dalam belajar dan menghafal Al-Quran. Memang ya tidak bisa dipungkiri, efek modernitas memang membuat anak-anak sulit untuk belajar. Tayangan televisi yang menarik, gadget-gadget yang canggih menawarkan permainan yang menarik hati, belum lagi fasilitas lainnya.

Membaca novel anak ini membuat saya yang awalnya menganggap sekolah di pesantren itu udik, gak gaul, dan kasihan pada anak-anak yang menjalaninya berubah 180 derajat. Sekolah di pesantren itu fun/menyenangkan, bisa memiliki banyak teman dan pengalaman-pengalaman yang menarik. Masih ditambah dengan hapalan Al-Qur'an yang jos.
Cara penuturan yang runtut dan menarik dari novel anak ini sangat mudah dimengerti bagi anak-anak tentang esensi moral yang terkandung di dalamnya. Mulai dari hidup bersih dan rapi, bertanggung jawab terhadap hewan peliharaan, berteman dengan cara yang baik dengan yang lain hingga pentingnya belajar tentang agama. 
Para tokoh di dalamnya juga teridentifikasi dengan baik, bagaimana perubahan sikap Sakina yang tidak dibuat-buat, penokohan teman-temannya yang sederhana tapi mengena. Dan akhir cerita yang sangat manis, karena Sakina mau berbagi Mama dengan Lana yang lucu. 
Saya merekomendasikan novel Sekotak Cinta untuk Sakina ini sebagai bacaan untuk anak yang mendidik. Tidak hanya mendidik dalam bidang agama tapi juga bisa mendidik akhlak bagi pembacanya. Dan karena novel ini juga, saya jadi mencari apa sih keutamaan seorang penghapal Al-Quran itu. Setelah tahu apa saja keutamaannya, saya hanya bisa menahan nafas dan merasa malu. Malu karena yang saya hafal terbatas surat-surat untuk sholat saja. Malu karena setua ini saya bahkan belum berusaha menghafal lebih banyak lagi. Dan saya bertekad, one day one ayat untuk langkah selanjutnya yang harus saya lakukan.
Dua dari banyaknya keutamaan penghapal Al-Quran adalah dipakaikan mahkota dari cahaya di hari kiamat yang cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan jubah kemuliaan yang tak dapat ditukarkan dengan dunia dan seisinya. Jadi karena inilah Lana ingin menghafal Al-Quran. Saya yang belum memiliki putra saja jadi terharu membayangkannya.
Akhir kata untuk Mbak Irma, semoga novel ini menjadi ladang pahala yang tak pernah putus untuk Mbak dan keluarga. Dan kalau boleh saya memberi saran, novel ini bisa lho dibuat berseri seperti Malory Towers karangan Enid Blyton. Tentu saja dibalut suasana pesantren yang hangat dan menyenangkan. SUkses ya Mbak dan semoga berkenan dengan resensi saya ini.

Lea

22 Sep 2013

Cerfet

http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Findahjulianti.com%2Fpelangi-rindu-cerfet%2F&h=hAQGQPva_http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.redcarra.com%2Fcerfet-pelangi-rindu-2%2F&h=rAQGEmSMyhttp://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Frindrianie.wordpress.com%2F2013%2F09%2F16%2Fcerfet-pelangi-rindu-3%2F&h=jAQGZRs76

http://coretanyanti.wordpress.com/2013/09/24/cerfet-pelangi-rindu-5/

Pelangi Rindu



Cerita  Keempat








Rindu ini begitu mendera. Rindu mendengar tawa renyah dan senyum indahmu. Kini aku benar-benar menyesal tak pernah berusaha merekam suaramu saat tertawa. Hatiku perih disayat kerinduan yang tak berujung. Entah kemana lagi aku harus mencarimu. Bayangmu terus berkelebat di pelupuk mataku. Silih berganti bersama bayangan Ibu.

“ Hemmmh.... haaaa.”

Aku menghirup udara lalu membuangnya kembali. Berharap, rindu yang berkarat di bilik jiwa ini dapat terbang bersama napasku, untuk menjemputmu di sana. Di bawah kaki langit tempat kedatanganmu.

Tak sedetikpun kualihkan perhatian dari titik itu. Titik di mana biasanya kulihat senyum indahmu mengembang, seperti kelopak mawar yang purna merekah. Harapanku, aku bisa melihatmu berjalan mendekatiku.

“Kau... kau di sini?” sebuah suara selembut petikan dawai memaksaku berpaling dari sudut seharusnya kau datang.

Aku terkesiap, begitu melihat siapa yang menyapaku. Wajah itu, adalah wajah yang pernah membuat hari-hariku penuh warna. Hadirnya pernah membuat ruang jiwaku semerbak dengan bunga yang baru mekar. Namun dia juga yang telah mengantar hatiku pada keputus asa an.

Dialah yang telah mencerabut rasaku hingga tak bisa lagi mencinta. Karena sepotong hatiku telah pergi bersamanya. Aku benar-benar frustasi saat itu. Dan tak bisa lagi menghadirkan siapa pun di ruang jiwaku. Sampai kau datang menjadi pengobat bagi jiwaku. Kau benar-benar datang selepas gerimis. Begitu indah meniti tangga mejikuhibiniu. Kedatanganmu seperti setetes embun di tengah sahara.

Dan sekarang, saat aku sedang menunggumu di sini, dia tiba-tiba hadir.

“Dulu, saat hatiku tergores perih, kau selalu mengajaku ke tempat seperti ini,” ucapnya lirih. Seakan memberi jawaban pada tatap keherananku tentang keberadaanya.

“Rupanya, kebiasaan itu begitu membekas. Saat air mataku tak dapat lagi kutampung di sudut kamar, aku berlari pada ketenangan yang tak pernah protes dengan hujan air mataku,” lanjutnya lagi.

Sedang aku tetap bergeming. Entahlah, sedalam apa perih itu membekas sampai membekukan tanganku hingga tak mampu terulur untuk menyeka cairan bening yang menderas di wajahnya. Hujan yang kutunggu setiap hari agar bersedia mengantar pelangi ke hadapanku, tak kunjung datang. Ternyata malah hujan air mata yang mengantarkan sosoknya di hadapanku.

Aku hanya menatapnya pilu. Ingin aku berkata bahwa kini aku sedang menunggu hadirmu. Hatiku yang kerontang sedang menanti siraman kesejukan dengan berbincang bersamamu. Seperti saat kedatanganmu tempo hari, di saat aku mengantar Ibu ke peristirahatan terakhir.

“O ya, bagaimana kabar Ibu?” Dia kembali bertanya. Tangannya sibuk mengusap air mata yang terus meleleh.

Aku menggeleng pelan.

“Ibu sudah tiada,” suaraku hampir tak terdengar. Dan aku tak hendak membalas sapanya dengan pertanyaan Kenapa air mata itu terus menderas? Ada apa denganmu?

“Oh...,”

Dia terperangah mendengar jawabanku. Sebelah tangannya refleks menutup mulutnya. Namun aku tak hendak berlama-lama menatapyna. Mataku segera beralih, menatap langit  sore yang begitu cerah. Tak ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera singgah. Lalu mataku kembali melempar harapan, akan kedatanganmu diujung sana. Bersama jingga yang memantul dari matahari yang mulai lelah.

“Aku duluan,” akhirnya aku memberanikan diri mengambil sikap. Memutar langkah untuk segera pergi meninggalkan lembah ketenangan ini. Kaki beradu dengan batang-batang rumput yang mulai meninggi.

“Tunggu!” serunya tanpa ragu.

Langkahku terhenti tanpa menoleh ke arahnya.

“Sebeku itukah hatimu? Hingga tak lagi bertanya tentangku,” ucapnya parau.

Aku masih mematung sambil memejamkan mata. Betul, setega inikah aku kepadanya? Bukankan aku pernah merindunya dalam waktu yang lama dan berharap dia kembali?

“Sungguh, jika ku harus jujur, sebetulnya kau tetap ada di hati ini.” Suaranya mulai terisak.

“Saat itu, kau tak memberiku kesempatan untuk menyampaikan alasan. Padahal ingin sekali aku berteriak, jangan tinggalkan aku, bawalah aku kemana pun kau suka,” kalimatnya terus mengalir tanpa jeda.

“Betapa banyak yang ingin aku sampaikan, namun kau menghilang seperti di telan bumi. Sampai suatu hari aku mendengarmu terluka dan dirawat di rumah sakit.”

Aku masih menyimak kata-katanya.

“Tahukah kau, setiap hari aku bawa langkahku ke Rumah Sakit. Namun aku tak punya keberanian untuk menemuimu. Aku hanya bisa menatapmu dari jauh.”

Benarkah? Apa dia merasakan kerinduan yang pernah kurasakan?Dan rindu itu kini bukan untuknya, melainkan untuk engkau yang selalu kunanti selepas hujan.

“Apa... lukamu masih sakit?” Tanyanya ragu.

Aku tetap membisu. Di hati ingin aku katakan, bahwa lukaku tak seberapa sakit dibanding perih saat dia meninggalkanku untuk seseorang yang tiba-tiba hadir di antara aku dan dia.

“Maafkan, mungkin aku tak pantas menanyakan itu,” lanjutnya lagi.

“Nop,” telapak tanganku kuarahkan kepadanya.

“Kuharap kau memaafkan aku, dan sudilah kiranya kau melongok ke dasar hatiku yang paling dalam. Masih terukir namamu di sana,”

“Kumaafkan, “gumamku sambil segera bergegas meninggalkannya.

Kuanggap hari ini hari ternaas. Harapanku untuk menjemput kedatanganmu, malah dia yang mengahmpiri. Harapanku untuk berdiri di bawah hujan yang berhari-hari tak singgah, malah memaksaku berdiri menyaksikannya hujan air matanya.

Esoknya aku masih menyimpan harap. Semoga senja akan mengantarmu menemuiku. Aku melangkah menuju jembatan lebar berpagar besi nan kokoh. Lalu berdiri di sana, menatap ke barat. Pada sebuah titik tak berujung. Barangkali saja lembayung bersedia membawamu untukku.

“Kalya,”

Antara percaya dan tidak, kini engkau benar-benar datang menghampiriku. Begitu indah, diantar riak air di bawah jembatan yang memantulkan cahaya senja kemerahan.

“Kau, benar-benar datang untukku?” berondongku begitu kulihat senyummu yang merekah di hadapanku.

Anggukanmu yang ritmis seperti pemantik yang menyalakan kembali semangatku.

“Aku kesepian, setelah Ibu tiada. Dan kau tiba-tiba raib,” protesku.

“Kau tak bisa terus menerus begini, sementara aku tak bisa datang setiap saat.”

Kata-katamu terasa pedas di telingaku. Sepertinya, kau hendak meninggalkanku perlahan-lahan.

“Kau jangan menakut-nakutiku, aku tak rela ditinggalkan kesekian kalinya oleh orang yang selalu kuharapkan kehadiranya,” aku menyela.

Tahukah kau, aku begitu trauma dengan makna ditinggalkan? Aku tak sanggup berjalan sendiri. Lukaku belum lagi sembuh, saat satu persatu orang-orang pergi meninggalkanku.

“Kukira, kau tak secengeng itu!” senyumu seperti mengejekku.

“Sudahlah, aku tak ingin membuag waktu dengan hal-hal konyol seperti itu. Sekarang adalah saatnya aku melepas rindu untukmu,” aku mencoba mengalihkan pembicaraan sambil memberikan senyum termanis yang kumiliki.

Dan aku kembali melihat senyum indahnya kembali merekah.

“Kau benar-benar pintar ya, sampai aku selalu kehabisan kata untuk membalas ucapanmu,” mata nya bergerak jenaka. Lalu tawa renyah yang selalu kurindu itu kembali terdengar. Kali ini, aku benar-benar menikmatinya dan tak berniat merekam dengan tape recorder. Aku hanya ingin merekamnya dengan gendang telingaku saja. Hingga aku bisa mendengarnya setiap saat, menemani rindu yang kupahat.





Hmmmmh... alhamdulillaah sudah selesai Mak, bagianku. semoga berkenan yaa, MakPuh dan semuanya. hadeuuh, mohon maaf, seandainnya episode ini bikin cerita jadi ngawur, boleh dianulir kok, hehe. :) dan estafet selanjutnya kuserahkan pada Hairi yanti, moga di tangannya ceritaku ini menemukan arahnya. ini link nya yaa http://tesaiga165.blogspot.com/   Yantiiii... maafkann daku menodongmu yaa, semoga tak mebuatmu klepek-klepek tertembak virus rindu pelangi

12 Sep 2013

Review Sakina oleh Efi Fitriyah

Revies "Sekotak Cinta untuk Sakina" oleh Neng Efi Fitriyah





Apa yang terlintas dalam benak kita mendengar kata 'pesantren'?
Bagi sebagian banyak orang pesantren identik dengan tempat buangan, santri yang kumuh, dekil dan sederet negatif lainnya.
Betulkah?
Ehm, waktu SMP-SMA dulu, hampir setiap libur sekolah, orang tua saya selalu mewajibkan untuk 'nyantri' kilat. Awalnya, saya sempat bete juga. Apaan sih? Orang pengen asyik-asyik liburan, ini malah disurun ikutan mesantren. Ga asyik! Itu yang saya pikirkan. Well, itu awalnya, satu-dua hari setelah adaptasi perlahan saya mulai enjoy dengan atmosfirnya, mengikuti semua jadwal yang meski padat tapi sayang dilewatkan, seperti cross country, jalan ke kebun bunga, camping sampai jurit malam! Saya mulai enjoy dengan teman-teman baru dan merasa kehilangan setelah -tanpa terasa- waktunya mesantren usai.
Itu juga yang dirasakan oleh Sakina, gadis cilik murid kelas 3 SD ketika uminya memutuskan untuk menitipkan Sakina di sebuah pesantren yang dikelola oleh Umi Haya, yang juga teman lama uminya saat mondok dulu. Khawatir Sakina tidak bisa mengikuti materi pelajaran sekolah karena ayahnya yang kerap ditugaskan berpindah-pindah kota sebenarnya membuat uminya Sakina juga berat melepaskan Sakina. Demi pendidikan yang lebih baik, Sakina memaksakan diri untuk menerima keputusan itu, dengan harapan cukup satu semester saja, tidak perlu berlama-lama tinggal di pondok Pesantren putri Halimah Sa'diyah.
Sakina mulai membuat ulah dengan melanggar peraturan pesantren dan membanding-bandingkannya dengan sekolahnya yang dulu. Hingga suatu ketika, saat Sakina dan Vinka - teman sekamar Sakina - sama-sama menjalani hukuman, keduanya bertengkar hebat. Vinka yang saat itu dihukum karena makan sambil berdiri tidak terima Sakina menjelek-jelekkan pondok pesantren.
Saat 'diem-dieman' itulah, Sakina justru mulai menemukan 'asyiknya' mondok. Lewat sahabat-sahabat lainnya yang memberikan perhatian pada Sakina, kelembutan Umi Haya seperti layaknya seorang ibu kandung, kokok si Blorok ayam kesayangannya hingga cita-cita setekad baja yang dimiliki seorang murid kelas satu bernama Lana.
Nah, kebandelan apa yang dilakukan oleh Sakina,  bagaimana serunya hari-hari Sakina dan apa yang dimilliki seorang Lana hingga membuat Sakina terenyuh? Akankah Sakina bertahan di pondok setelah Sakina akhirnya mendapatkan keluarga barunya?
Penulis menuturkan kisah Sakina selama di pondok ini dengan karakter natural khas anak-anak. Ketika seorang anak menunjukkan protesnya terhadap keputusan orang tua, bagaimana sebenarnya hati seorang ibu juga merasakan kesedihan saat harus melepaskan putri tersayangnya disampaikan dengan penuturannya yang ringan, mengalir dan tentu saja mudah dicerna untuk segmen pembacanya. Dengan cover yang catchy serta pilihan font yang sedang, pembaca anak-anak tidak akan merasa 'njelimet' membacanya. Sayangnya kita tidak menemukan ilustrasi lain di dalam buku yanng mungin bisa membuat anak-anak lebih tertarik lagi.

Lewat buku ini, penulis mengajak anak-anak untuk mengenal dunia pondok pesantren tidaklah sesuram dan 'garing' seperti yang dibayangkan. Ada banyak ibrah yang bisa dipetik pembaca anak-anak setelah membaca buku ini. Bukan sekedar patuh pada orang tua, atau membina hubungan yang baik dengan sesama teman atau mengajarkan kemandirian. Ada cita-cita luhur yang akan menjadi kebanggaan dan kebahagiaan orang tua saat anaknya mencintai dan menghapal Al Quran dan berbua mahkota bertabur cahaya saat hari akhhir nanti.


Saya tersenyum satire, malu sebenarnya dengan tokoh anak-anak dalam novel ini, bahkan dalam kehidupan nyata, ketika seorang bocah sudah mempunyai banyak hafalan Quran dengan tajdwid dan makhraj yang baik dan benar. Duh, saya sendiri harus bersusah payah menghafal juz 30. Satu surat hafal, beralih ke surat lain, surat yang sudah saya hafal malah jadi samar-samar. Hehehe.. Saya teringat lagi sebuah acara yang digelar di sebuah stasiun TV saat Ramadhan kemarin yang menampilka bocah-bocah cilik yang mempunyai hafalan Quran yang luar biasa.


Ketika saat seorang anak dalam masa keemasannya, ia akan begitu mudah menyerap, menangkap dan menghafal informasi yang diterimanya. Sayang sekali kalau dibiarkan berlalu dan tidak mengisinya dengan hafalan Quran. Saya yang sudah usia kepala 3 mungkin tidak akan semudah mereka untuk menghafal, tapi tidak boleh menyerah. Bukankah Allah menghargai usaha hamba-Nya terlepas dari bagaimana hasilnya, kan?

5 Sep 2013

Review Sekotak Cinta Untuk Sakina oleh Kang Iwok Abqary





Betul-betul serasa melambung ke langit ketujuh deh, dapet apresiasi dari penulis besar sekaliber Kang Iwok. Semoga Novel anak yang pertama kali saya tulis ini, benar-benar bermanfaat bagi pembaca. Aamiin





[Review] Sekotak Cinta untuk Sakina
10:35 AM Iwok No comments



Judul Buku : Sekotak Cinta untuk Sakina
Penulis : Irma Irawati
Penerbit : Qibla (Bhuana Ilmu Populer)
Cetakan : I/2013
Jumlah Halaman : 126

Sakina sedih dan kecewa. Hanya karena ayahnya sering berpindah lokasi kerja, dia harus dititipkan di sebuah pondok pesantren putri. Ya, Sakina akan menjalani hari-harinya dengan bersekolah dan tinggal di sebuah pesantren di pinggiran kota Bandung. Mama bilang, semua itu agar Sakina dapat berkonsentrasi belajar dan tidak terganggu sekolahnya karena harus sering berpindah-pindah.

Tentu saja Sakina berat menerima keputusan Mama dan Papa ini. Dia tidak ingin tinggal terpisah dari keluarga. Apalagi, pondok pesantren yang akan ditinggalinya tidak sebagus sekolah sebelumnya. Selain fasilitasnya yang tidak lengkap, lokasinya pun sepi dan jauh dari keramaian. Belum-belum Sakina sudah merasa tidak akan betah tinggal di sana. Karena itu, dia mulai menyusun skenario agar Papa dan Mama segera menjemputnya kembali dari pesantren.

Hari-hari pertama tinggal di pondok pesantren, Sakina mulai berbuat ulah. Dia tidak mau mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan di pondok. Sakina bahkan berani menyembunyikan handphonenya dan bermain game diam-diam. Padahal segala bentuk alat komunikasi dilarang digunakan selama berada di pondok. Sakina pun selalu malas-malasan di saat jam pelajaran atau bolos shalat berjamaah. Sakina ingin pulang ke rumah!

Tetapi, sebuah kejutan di hari ulang tahunnya membuat Sakina bimbang. Dia memperoleh hadiah Sekotak Cinta dari teman-teman sekamarnya. Selain itu, ternyata dia mulai melihat banyak hal yang menarik di sekeliling pondok.

Apa sebenarnya yang ada di dalam Kotak Cinta untuk Sakina, sehingga dia mulai bimbang untuk pulang? Lalu, siapa pula sosok Lana, gadis cilik yang membuat Sakina merasa iba, sekaligus sangat mengaguminya? Di tengah kebimbangannya, Mama dan Papa mengabarkan kalau mereka akan segera menjemput Sakina kembali dari pondok untuk tinggal bersama di Jakarta. Waduh?

Menarik sekali mengikuti kisah Sakina ini. Ceritanya mengalir dan mudah sekali diikuti. Sosok Sakina seolah mewakili anak-anak modern yang masih memandang pondok pesantren bukan sebagai sebuah pilihan untuk menuntut ilmu. Pesantren dianggap tempat yang tidak keren dan kampungan. Seperti pikiran Sakina yang selalu membandingkan pondok pesantren ini dengan Sekolah Dasar Islam Terpadu, tempatnya bersekolah sebelumnya, yang mewah dan lengkap.

Secara nyata, masih banyak orangtua dan anak-anak yang masih ragu memasuki dunia pondok pesantren. Padahal banyak hal yang bisa dipelajari di tempat ini, di antaranya kemandirian dan pelajaran budi pekerti. Melalui novel ini pembaca akan diajak melihat lingkungan pondok pesantren yang sebenarnya, kegiatan yang bisa diikuti, dan tentu saja sisi-sisi menariknya. Mungkin tidak digambarkan secara lengkap dan detil, tetapi untuk konsumsi anak-anak, kisah Sakina ini sudah cukup mewakili.

Dengan cover yang menarik, font tulisan yang cukup besar dan nyaman bagi anak, kisah persahabatan beserta konflik-konflik pertemanan ringan di pondok pesantren, novel ini bisa menjadi bacaan bermanfaat bagi anak.