16 Apr 2012

Wahyuti Journal: Bentang Belia -New Lini Bentang Pustaka

Wahyuti Journal: Bentang Belia -New Lini Bentang Pustaka: 1. Q & A tentang Redaksi dan Naskah Anak dan Remaja Pengiriman naskah bisa dalam bentuk hard copy (via pos) atau soft copy (via email). ...

Kue Musim Dingin




“Huh, aku memang tak pernah suka musim dingin,” Grace merapatkan selimutnya sambil bersungut-sungut. Wajahnya tampak memerah karena pantulan cahaya api yang menyala di perapian. Tubuhnya yang terbungkus selimut tebal terus meringkuk seperti ulat dalam kepompong.
Grace benci dengan bentangan salju di halaman yang membuatnya serasa berada di dalam freezer. Ia tak lagi bisa bermain dengan bebas. Ia merasa terkekang  berada di dalam rumah terus menerus. Apalagi musim dingin kali ini yang disertai badai salju berkali-kali.
“Aku malah suka dengan situasi seperti ini,” sanggah Merry. Grace melotot ke arah nya.
“Ya, karena di saat musim dingin seperti ini, nenek akan membuat kue special beraroma kayu manis. Kue yang membuatku selalu rindu musim dingin,” Merry meyakinkan pendapatnya. Grace malah menutupi wajahnya dengan selimut, seolah tak memedulikan ucapan Merry.
Merry sengaja mengajak Grace, sahabat baiknya itu untuk berlibur di rumah Nenek Charlotte.  Agar Grace bisa menikmati kue lezat buatan Nenek sambil berbagi cerita. Merry juga berharap, Grace bisa menikmati suasana musim dingin ini tanpa keluhan. Karena seingat Merry, Grace bukan hanya mengeluh saat musim dingin. Pernah juga Merry mendengar keluhan Grace tentang musim panas.
Grace masih meringkuk dibalik selimutnya, ketika Merry mulai mencium aroma kayu manis dari arah dapur. Merry tak sabar ingin segera menikmati kue istimewa itu.
“Halloo... peri musim dingin, kuenya telah siap!” dengan wajah ceria, Nenek Charlotte menghampiri Merry dan Grace. Tangannya membawa nampan berisi pie apel istimewa.
Gotchaa!... Merry langsung mendapat ide, begitu Nenek menyebut peri musim dingin. Merry jadi teringat cerita peri musim dingin yang sering Ma ceritakan. Ah ya, kini Merry akan menceritakannya pada Grace.
“Ayo bangun Grace!  kita ke sini kan untuk menikmati kue buatan Nenek,” Merry menyingkap selimut yang menutup wajah Grace. Grace bangkit dengan malas. Rambut ikalnya yang acak-acakan menutupi matanya yang masih merem.
“Pwuuuuh,” Grace merentangkan tangannya sambil membuang napas.
“Emm….. wanginya benar-benar menggoda,” gumam Grace dengan suara parau. Ia memicingkan matanya sambil menggeliat. Nenek Charlotte tersenyum melihat tingkah Grace.
Mata Grace berbinar saat melihat pie di tangan Nenek. Lalu mengambil sepotong saat Nenek mengulurukan pie itu ke hadapannya. Mencium aromanya dan mulai menggigitnya.
“Huum, enak sekali,” puji Grace sambil mengunyah potongan pienya. Lagi-lagi Nenek hanya tersenyum.
“Silahkan kalian menikmati kuenya. Nenek ada kerjaan lagi di belakang,” pamit Nenek, tetap memamerkan senyum cerianya.
Merry senang dengan sikap Grace yang tampak menikmati suasana di rumah Nenek. Berarti ini kesempatan untuk membuat Grace tidak lagi mengeluhkan musim dingin, pikir Merry.
“Kamu suka kuenya Grace?” pancing Merry.
“Ooh, suka sekali. Aromanya membuatku ingin mengunyah lagi dan lagi,” ucap Grace.
“Kue inilah yang membuatku merindukan musim dingin, Grace,” jelas Merry sambil menggigit potongan pie.
“Benarkah?” Grace Nampak takjub. Ia melebarkan matanya yang indah. Grace tak pernah mencicipi kue seenak ini di musim dingin. Karena semenjak kecil Grace hanya tinggal bersama Pa yang tak pandai memasak. Ma telah lama meninggal.
“Tenanglah Grace, aku pasti akan selalu mengajakmu ke sini setiap musim dingin,” Merry berjanji.
“Kita jadi seperti peri musim dingin,” gumam Merry.
“Seperti apa peri musim dingin itu?” Grace Nampak penasaran.
“Ia anak dari Peri Tumbuhan yang diculik oleh Penguasa bawah Tanah. Ia disembunyikan  di dalam gua kegelapan,”
“trus, kenapa disebut peri musim dingin?” Grace tak sabar. Ia tak jadi menggigit pie di tangannya.
“Ya, karena sejak penculikan itu. Peri tumbuhan  jadi sedih dan marah. Ia membuat semua tumbuhan jadi mati dan diselimuti salju,” terang Merry.
“Meski akhirnya sang putri ditemukan berkat bantuan Peri Pembawa obor.  Tapi putrinya tak lagi ceria dan pada saat tertentu selalu ingin kembali ke gua kegelapan. Karena saat di gua ia mencicipi beberapa biji buah delima. Konon, siapapun yang makan buah delima itu pasti ketagihan dan ingin kembali ke gua.”
“Jadi peri itu tinggal di gua?”
“Tidak juga, pada saat musim panas ia tinggal dengan ibunya. Dan pada saat musim dingin ia kembali ke gua. Makanya, ia disebut  Peri Musim Dingin,” Merry mengakhiri ceritanya.
  “Ooh, jadi begitu maksudmu dengan menyebut kita seperti Peri Musim Dingin?” Grace baru sadar. Merry mengangguk sambil  mengulum senyum.
“Jika Peri Musim Dingin merindukan buah pomegranate atau delima di gua yang gelap dan dingin, maka kita merindukan pie apel buatan Nenek di musim dingin. Betul kan?” Seru Merry mengacungkan tangannya untuk melakukan toss. Grace menyambutnya. Dan  kedua sahabat itupun tertawa bersama.




SALAH PAHAM


Siang yang terik. Ayah baru saja tiba di rumah.
Biasanya ibu segera membawakan minuman untuk ayah.
 Tapi kali ini, adik perempuanku menyerobot. Ia ingin menyuguhkan segelas air putih untuk ayah.
Kulihat ia tergopoh-gopoh dari dapur. Tangannya membawa segelas air putih.  Tapi kupikir, ia keliru memegang gelasnya. Lima jemarinya yang mungil,  meraup gelas menutupi permukaannya.  Menurutku, itu tidak sopan.
“Dik, kalau bawa gelas pegang pantatnya yaa!...” Aku berseru meluruskan kekeliruannya.
 Serta merta, adik memegang pantatnya sendiri yang montok. Wajahnya tampak lucu saat ia bingung seperti itu.
"Pantat gelas, Dik. Bukan pantatmu,"
"Gelas punya pantat?" tanyanya sambil membelalakkan mata.
Tanpa banyak bicara, kuambil gelas dari tangannya. Kutunjukkan bagaimana caranya memegang gelas yang benar.
Ah, adikku memang lucu.   

Mommy Supri bin Jepri Jepret




Aku bukan mau menceritakan si Jepri, anak muda yang suka jualan  sayur keliling komplek . Atau si Jepri yang suka mangkal di terminal. Apalagi Jepri yang dulu pernah ngincer tanteku semasa gadis. Tapi ini Jepri yang mengikuti jejak Satria Baja hitam, suka berubah wujud.  Akulah yang seketika menjadi Jepri begitu keluar melewati pintu rumah dan siap bergulat dengan debu jalanan. Jepri yang wujud aslinya seorang Ibu tiga anak. Sehari-hari menjadi upik abu yang bergelut dengan susuk dan wajan, kain pel dan sapu, juga cucian dan detergen. Juga menjadi guru les yang mengajar anak-anak berbagai pelajaran. Bendahara yang mengatur keluar masuk keuangan. Tak lupa menjadi ibu yang manis dambaan anak-anak.  Tapi dominan menjadi  ‘Jepri bin Supri’ Jemputan  Pribadi alias Supir Pribadi bagi anak-anakku. 
Keadaan dan kebutuhan lah yang menuntutku untuk menjadi sopir jemputan anak-anaku. Seiring bertambahnya aktivitas mereka. Mulai dari sekolah, les ini itu, ikut pegajian yang agak jauh dari rumah, sampai pulang ke rumah asal kami di Bandung. Ya, mau tidak mau  kondisi saat ini membuatku harus menjadi Jepri untuk buah hatiku. Pekerjaan  suamiku yang harus mutasi ke Garut, membuat kami sekeluarga beramai-ramai ikut pindahan. Dan tanpa bisa dihindari, menciptakan rutinitas  baru di tengah-tengah kami. Yakni harus bolak balik Bandung Garut untuk mengikuti les Kumon yang sudah terlanjur diikuti. Karena waktu itu, Kumon belum membuka cabang di daerah Garut. Terkesan memaksakan diri? Aah tidak juga. Karena anak-anakku terlanjur senang belajar di Kumon. Perjalanan ke Bandung juga kami anggap perjalanan yang menyenangkan. Sehingga perjalanan Bandung Garut  menjadi serasa dekat.
Dua kali seminggu, aku harus bolak-balik Bandung Garut. Perjalanan yang dianggap berat oleh saudara-saudaraku di Bandung, bahkan membuat orang tuaku merasa khawatir. Sehingga acapkali aku mendapat saran agar berhenti saja mengikuti les. Tapi aku merasa berat untuk mengikuti saran mereka, karena ini semua demi anak-anakku. Agar mereka punya basic di bidang Matematika dan Bahasa. Apalagi, anak-anak merasa senang menjalaninya. Terlebih bagi sulungku yang sedang mondok di sebuah pesantren  anak-anak di Bandung. Dengan tetap les Kumon, kami tetap menikmati kebersamaan. Karena dua kali seminggu aku menjemputnya  ke Pondok, lalu pergi sama-sama ke tempat les.
Jika dijabarkan, sebenarnya aku menempuh rute yang panjang. Dari Garut ke Bandung kurang lebih 70 km, lalu ke pondok tempat si sulung sekitar 13 km. Dilanjutkan ke tempat les lebih kurang 14 km. Balik lagi ke Pondok untuk mengembalikan si sulung. Dan kembali melanjutkan  perjalanan ke Garut. Jika dijumlahkan berarti sehari itu aku harus menempuh perjalanan sepanjang 194 km. Belum lagi ditambah macet selama perjalanan. Maka tak  bisa dihindari lagi, aku selalu menempuh perjalanan malam untuk kembali ke Garut. 
Kujadikan indah perjalanan ini  dengan mendengar celoteh si kecil yang kadang membuatku tertawa, atau pertanyaan-pertanyaan anehnya yang kadang tidak terjangkau oleh pemikiranku. Bahkan perjalanan ini terasa semakin indah jika si sulung kebetulan sedang libur sekolah dan libur di Pondok. Sehingga bisa langsung pergi sama-sama dari Garut. Karena di perjalanan itu dia mengajakku dan adiknya untuk berdzikir. Bibir mungil bocah 7 tahun itu, tak henti mengucap takbir jika melewati tanjakan dan mengucap tasbih jika melewati turunan.
Dari celoteh mereka, dari segala hal yang kulihaat dan kutemui sepanjang perjalanan, aku memungut serpihan demi serpihan hikmah. Meski tak jarang  perjalanan itu juga dihiasi pertengkaran dengan adik perempuannya yang berusia 5 tahun. Pertengkaran khas anak-anak. Rebutan mainan, saling geser tempat duduk, atau tidak mau kalah berceloteh. Tak dipungkiri, pertengkaran itu kadang mengganggu konsentrasiku jika sedang berpacu dengan padatnya kendaraan lain. Terlebih lagi saat aku harus uji nyali dengan kendaraan-kendaraan raksasa di tanjakan Nagreg.
Benar-benar uji nyali. Tanganku yang biasa memegang susuk dan sapu, harus sigap mengendalikan persneleng, stir dan rem tangan. Mengatur kupling, rem dan gas agar tetap stabil di antara rentetan truk, tronton dan bis luar kota yang sama-sama berjuang melewati tanjakan yang terkenal curam itu. Namun tetap kuambil hikmah, bahwa tanjakan Nagreg bukan lagi jalan yang kutakuti. Meski tak jarang, aku melihat berbagai kecelakaan di depan mata. Truk yang terjun bebas, terguling atau tabrakan sesama kendaraan.  Itu semua menjadi pelajaran berharga bagiku dan anak-anak. Kami belajar arti tawakkal yang sesungguhnya. Belajar arti kelemahan diri, hingga kami hanya bisa bergantung  padaNya.  Dengan tak lelah berdo’a.
Bibir mungil bocah kecilku juga tak lelah merapal do’a saat kami harus menempuh perjalanan yang kami rasa tak sanggup menempuhnya tanpa campur tangan Sang Penguasa Alam. Hahaiii, lebaynyaaa! Ya, sekilas nampa tak sanggup. Saat kami harus pulang malam, menembus pekatnya  jalanan yang mulai diselimuti gelap. Terseok-seok melewati tikungan demi tikungan  tajam dalam hitamnya malam.
Mulai dari tanjakan Lebak jero yang curam, yang terkadang kami menemukan truk yang ngos-ngosan dan mundur lagi. Kemudian Leuweung Tiis yang begitu gelap dan tak ada cahaya sedikitpun, kecuali jika bertemu kendaraan lain. Padahal jalanan di sini menurun dan bertikungan tajam. Konon menurut teman-teman yang orang Garut, mereka memiliki kepercayaan bahwa jika melewati jalanan ini haruslah melempar rokok.
“Lhaah aku kan emak-emak, masa iya bawa-bawa rokok?”
“lempar obat nyamuk saja!” saran mereka.
Ooh tidak! Aku hanya ingin bertawakkal saja pada Yang Maha Memiliki Kegelapan. Aku hanya memohon perlindunganNya saja dalam melalui jalanan seperti ini. Setelahnya, barulah melewati Leles yang lumayan rame. Tapi setelahnya, masih ada beberapa tanjakan  dan rentetan tikungan yang harus kutempuh, yakni Tutugan Haruman.  Jalanan ini terasa meliuk dan menanjak karena ternyata memang letaknya di punggung Gunung Haruman. Tapi inilah tanjakan terakhir yang harus kulalui.
Di Tutugan haruman ini, aku mempunyai kenangan manis dengan putri kecilku yang sabar. Saat itu sebenarnya ia sangat cape untuk menempuh perjalanan. Karena tiga hari berturut-turut, kuajak ia bolak balik Bandung Garut untuk sebuah urusan. Ditambah hari ini yang merupakan hari wajibnya ke Bandung. Wajar kalau ia merasa lelah dan terus mengeluh. Cape, bosan dan segala macam. Tapi, tiba-tiba putriku yang sedang nggak mood itu  bersorak dengan riangnya. Dia girang sekali melihat bintang bertaburan di hitamnya langit. Subhaanallah, seruannya benar-benar menghiburku.  Dia begitu  gembira memandangi taburan bintang yang berkilauan. Sementara, bintang yang ia tahu selama ini adalah bintang yang terbuat dari kertas berwarna keemasan yang diberikan bu Gurunya jika ia bersikap manis dan berprestasi  di kelas TKnya. Tak heran saat matanya tertumpu pada taburan bintang di langit itu pun, dengan riang ia katakan sebagai hadiah.
“Tapi, hadiah  dari siapa ya Mi?” tanyanya polos.
“Dari Allah!” jawabku tak kalah riang. “Hadiah untuk anak yang sabar  dan tidak takut melewati malam yang gelap”.
Akhirnya, perjalanan malam itu pun menjadi indah karena berhadiah bintang. Kepalanya terus tengadah ke langit. Mata beningnya terus menatap bintang yang bertabur indah. Bibir mungilnya terus berseru.
“Bintangnya bertambah banyak!”
“Iya dong, kan sabarnya juga bertambah.” Aku tak mau kalah.
“Terimakasih ya Allah, telah memberi hadiah Bintang. Allah baik ya Mi.” Ungkapan dari bibir mungilnya itu terasa begitu menyejukan penatku. Ah gadis kecilku, bening hatimu memaknai ciptaanNya, mengantarkan ibumu menyelami makna lain dibalik pekatnya malam. Di antara deru kendaraan yang melaju di malam hari, yang lebih mirip monster bermata besar. Bergerak seperti hendak menerkam.
Sekali waktu, di Tutugan Haruman itu juga  aku berdua gadis kecilku pernah terseok-seok di gelapnya malam berhujan lebat. Hujan turun begitu derasnya, membuat  jarak pandang sangat pendek. Hanya sekitar 5 meter. Pantas, ada teman yang menghindari perjalanan malam. Terlebih di situasi berhujan seperti saat itu. karena memang membuat lutut bergetar dan hati ketar-ketir. Mana bawa bocah kecil lagi. Putri kecilku tak lelah merapal takbir, menguatkan do’a yang kupanjatkan dalam hati. Hingga tiba di gerbang komplek tempat tinggalku, barulah dia berujar
 “do’anya selesai ya mi, udah pegel!”.
Pernah juga saat hujan lebat sore hari, masih di Tutugan haruman, kami melihat pasangan muda yang mengendarai motor sambil menggendong bayi. Mereka tampak kerepotan melindungi bayinya dari air hujan. Anak-anak merasa trenyuh dan menyuruhku untuk mengajak sang ibu dan bayinya menumpang kendaraan kami. Tapi laju kendaraanku tak mampu menjejeri motor yang berlari kencang itu. Ah sayang sekali, hingga mereka terus teringat dengan bayi yang kehujanan itu.
Sampai saat ini, aku masih tetap seorang Jepri bagi anak-anakku. Menjemput mereka dari Sekolah, mengantar les Kumon dan les piano. Kali ini sedikit ringan, karena ada hal yang kuyakin bukan serba kebetulan. Tapi berkat skenario Sang Maha Pengatur kehidupan lah yang membuat perjalananku sebagai Jepri sedikit berubah. Saat kehamilan anak ketigaku menginjak usia 12 minggu, Kumon membuka cabangnya di Garut. Subhaanallaah, anugrah yang begitu besar. Dan sulungku yang di Pondok tiba-tiba ingin pindah sekolah ke Garut. Dengan terpaksa kuizinkan ia keluar dari Pondok dan pindah ke Garut, karena ternyata tugas suamiku di Garut juga diperpanjang. Ya, jalan cerita ini membuat langkahku sebagai Jepri menjadi lebih efektif.  Semua aktifitas terfokus di Garut. Jadi aku tetap nyaman menjadi Jepri meski aku tengah hamil.
Seiring waktu, kehamilanku kian membesar. Perutku hampir tak muat lagi berada di belakang stir, hingga suamiku mempekerjakan seorang sopir untuk antar jemput anak sekolah. Tapi aku kok malah nggak nyaman dengan cara sang sopir ini membawa kendaraan. Belum lagi dengan ulahnya yang suka mengeluh. Akhirnya, hanya 2 bulan aku sanggup menyewa sang sopir. Begitu bayiku lahir, aku langsung mengambil alih tugasku sebagai Jepri yang sesungguhnya. 
            Maka sejak usia seminggu, bayiku telah kuajak beredar mengantar kakak-kakaknya ke sekolah, tempat les, mengaji dan sebagainya. Aku tetap setia dengan tugasku sebagai Jepri bin Supri. Dengan bayi yang tergolek manis di atas car sheet di jok sebelahku. Kadang dia menangis minta mimi. Dan aku membawa kendaraanku ke tepi untuk memberinya ASI. Kadang membiarkannya menangis karena tengah berada di posisi yang tanggung, semisal jalanan sempit atau kondisi macet.
            Kuharap, aku tetap bisa mengantarkan putra-putriku melewati proses perkembangannya. Aku akan tetap menemani hingga menemukan pintu yang akan membawa mereka pada sebuah perjalanan masa depan. Hingga mereka menemukan titik ternyaman untuk bisa berjalan sendiri. Meski aku harus membagi perhatian untuk bayiku. Meski aku harus menjadi sopir yang juga menyusui.  Sama sekali bukan sebuah kendala.
Tempo hari, perjalanan kami ke Bandung agak tersendat karena jalur Nagreg sedang perbaikan jalan. Terpaksa aku mengambil jalur Cijapati yang terkenal dengan tanjakannya yang curam. Alhamdulillaah, bayiku sama sekali tidak menjadi kendala untuk menempuh perjalanan sulit sekalipun. Begitu juga saat mengantar kakak-kakaknya mengikuti pelatihan menulis yang diadakan di Bandung oleh Sahabat Cahaya Writing Club. Di pagi buta, bayi mungilku  sudah tergolek manis di atas kursinya di sebelahku. Sesekali ia menangis minta ASI, atau minta ganti popok.
Pulangnya, kami terjebak macet. Sementara hari mulai merambah malam. Bayiku menangis minta ASI. Dua kakaknya bekerjasama menghibur adik bayi. Alih-alih kerjasama, malah berebut untuk sama-sama meredakan tangisnya. Hingga yang ada, bukan tangisnya yang reda, malah dua kakak jadi berantem saling menyalahkan. Di tengah macet yang tak bergerak itulah kuusahakan memberinya ASI walau sejenak. Begitu kendaraan bergerak, kembali kubaringkan di kursinya. Terus begitu berulang-ulang.
Sekilas, perjalanan ini tampak melelahkan. Perjalanan malam, macet, ditingkahi tangisan bayi dan kehebohan dua bocah yang berebut mendiamkan sang bayi. Tapi ada kebahagiaan dan kepuasan yang memenuhi ruang hatiku. Aku bahagia mengantarkan anak-anakku untuk mencari pintu mana yang cocok untuk mereka masuki. Pintu yang akan mempersilahkan mereka duduk nyaman dalam dunia yang diminatinya. Selama tangan dan kaki ini bisa kugerakan, akan kuantar mereka kemanapun untuk mencari jati dirinya. Agar mereka bisa menjadi khalifah sejati di muka bumi ini. Bismilaah! 
 







IBUKU ADALAH SETEGUK AIR PELEPAS DAHAGA


Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang pernah kuminum kala dahaga. Hanya sesaat kureguk kasih sayangmu. Namun, setiap  tetesnya sangatlah berarti. Kujadikan  bekal  untuk tetap melanjutkan perjalanan, mengarungi samudra kehidupan.Tanpa pernah kutahu, kapan aku bisa kembali menikmati tetes demi tetes kasih sayang seperti yang kau berikan.

Hanya seteguk?... Ya. Karena teramat singkat kureguk belaian kasih sayangmu. Di usia 25 tahun, kau tinggalkan tiga anakmu yang masih haus kasih sayang seorang ibu. Kau tak kuasa menolak ajakan tamu yang menjemput ruhmu. Tak peduli dengan air mataku yang terus meleleh, mengantar  tubuh kakumu diangkat keranda.  Tak  peduli pada tangis adikku yang belum lagi mengerti arti kehilangan. Takpeduli dengan  celoteh bungsumu yang baru belajar memanggilmu mama.

Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sampai usia 7 tahun, kureguk kasih sayangmu. Namun meski hanya seteguk, air kehidupan itu masih terus mengalir bersama aliran darahku. Menjadi ion dalam tubuh yang membuatku tetap tegar melanjutkan perjalanan. Membuatku tetap segar  saat melalui pahit getir kehidupan.

Hanya seteguk?...Ya. Karena aku belum puas memanggilmu mama. Merasa iri pada teman bermainku yang masih mendapat belaian sayang. Membuat hati ini perih setiap  tiba hari raya. Karena saat hari raya yang semestinya bertabur kebahagaiaan itulah,  aku menyaksikanmu terbungkus kapan. Terbujur kaku tak mendengar panggilanku. Tak  menghiraukan betapa riuhnya tangisan sanak saudara. Mengabaikan bocah kecilmu menangis pilu.

Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sesaat kureguk kasih sayangmu. Namun meski hanya seteguk, setiap tetesnya mengajarkan cinta. Tetesan cinta yang melukiskan keramahanmu. Hingga seluruh jiwa di setiap sudut desa mengenalmu. Tetesan cinta yang meninggalkan jejak kedermawananmu. Hingga mereka yang papa di sekelilingmu merasa kehilangan. Tetesan cinta yang membingkai kebeningan hatimu. Hingga tak tercatat luka yang pernah kau toreh pada sekeping hati. Tetesan cinta yang merajut benang persahabatan. Hingga  silaturahim terikat erat dengan sesamamu.
Hanya seteguk?...Ya. Karena aku merana tak bisa menumpahkan isi hati saat teman sebayaku curhat pada bundanya. Aku nelangsa menyaksikan teman asramaku ditengok oleh ibu tercintanya. Lengkap dengan beragam oleh-olehnya. Aku meradang saat menatap teman wisudaku yang begitu bangga berpose dengan sang mama.Sempurna,dengan rona haru membingkai rasa bangga dan bahagia.
Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sepintas kau ajari aku mengeja tanda baca. Namun meski sepintas, setiap tanda menuntunku mengerti makna. Makna kesabaran saat aku harus berjalan tanpamu. Makna ketegaran saat aku mengarungi bahtera kehidupan yang terkadang garang. Makna kesyukuran saat aku menyadari bahwa jalanku tak sesunyi mereka yang tak berayah ibu.
Hanya seteguk?...Ya. Karena aku tergugu saat suasana haru menyelimuti ruang rasaku. Pada momen-momen indah yang seharusnya kau ada di sisiku. Saat hari bahagia pernikahanku. Betapa ingin aku bersimpuh di hadapanmu untuk memohon restu. Saat hari pertamaku menjadi ibu. Betapa ingin kuungkapkan terima kasih telah melahirkanku sepenuh perjuangan.  Saat semua orang merayakan hari ibu. Betapa ingin kubisikan ‘selamat hari ibu’ dengan penuh cinta. Namun ternyata, hadirmu hanya sebatas anganku.

Ibu, hadirmu bagai seteguk air yang kuminum kala dahaga. Hanya sejenak kau mengajakku menapaki semesta. Tapi jejakmu terpahat indah nan menakjubkan. Jejak yang kau pahat di hati ayah hingga ia menjelma kesetiaan yang indah. Melebihi keindahan istana mumtaj mahal.  Jejak yang kau patri di jiwa anak-anakmu hingga terukir prasasti, yang mengabadikan  rasa terimakasih. Karena kau lah ibu yang telah menjadi seteguk air pelepas dahaga.




13 Apr 2012

Seikhlas Mentari


Semburat merah menebar senyum pada setiap sisi kehidupan, mengabarkan hari yang baru. Senyumnya yang menawarkan kecerian dan kedamaian, menyalakan semangat pada setiap sumbu jiwa. Lalu berjalan tanpa kenal lelah, menyusuri timur sampai ke barat.  Tanpa pernah protes apalagi mengeluh dengan tugasnya.