Oleh
: Irma Irawati
Membeli
buku adalah hobi, dan membacanya adalah candu. Saya tak pernah mengekang
keinginan untuk jalan-jalan ke toko buku dengan mematok jadwal kunjungan. Terkadang bisa berkali-kali dalam seminggu. Begitu
juga dengan anak-anak. Membeli buku juga bisa menjadi hadiah untuk sebuah
pencapaian. Boleh membeli buku sampai total harga sekian, adalah reward yang
paling menggiurkan. Biasanya begitu menjejak toko buku, anak-anak langsung semangat dan segera mengambil buku
idamannya. Lalu dibaca sepanjang perjalanan, tak peduli siang atau pun malam.
Walhasil sampai di rumah, bukunya sudah tamat dibaca dan mulai mengabsen judul
buku berikutnya yang ingin dibeli jika besok lusa ke toko buku lagi.
Saya
dan anak-anak, biasanya memilih buku yang akan dibeli berdasar synopsis back
cover, atau setelah melihar review teman-teman. Baik itu review di facebook
atau di goodread. Dan sekarang ini ada tambahan point dalam memilih buku, yakni
membeli buku yang ditulis oleh penulis yang berteman di facebook. Karena saya
ingin menghargai karyanya sekaligus untuk saya pelajari cara penulisannya.
Mengingat
hobi membeli buku yang tak kenal waktu, saya jadi merenung, gimana kalau suatu
saat tempat tingal saya jauh dari toko buku?
Saat posisi tempat tingal kita ada di posisi strategis mah, ya asyik-asyik saja ke toko buku
kapanpun. Lalu bagaimana jika kita tinggal di pinggiran kampung yang nggak ada
mall atau toko bukunya? Nah sepertinya, kondisi seperti itu bisa menjadi jawaban atas pertanyaan, apa sih masalah yang
paling krusial dalam penerbitan? Menurut
saya, masalahnya bukan di penerbit, apalagi di organisasi yang membawahi
penerbit. Melainkan pada bentuk pemasaran yang tidak merata.
Bagi
masyarakat perkotaan, masalah ini tidak berlaku. Karena mereka bisa membeli
buku kapan saja. Sedangkan bagi masyarakat di perumahan mewah alias mepet ka
sawah, bagaimana bisa tahu buku apa yang sedang populer, jika menjejak toko
buku saja tidak bisa. Begitu juga dengan mereka yang tinggalnya di sekitar
diskotik alias di sisi kotak saeutik,
tetap saja kemungkinan jalan-jalan ke toko bukunya agak susah. Padahal mungkin
mereka sangat ingin membeli buku dan suka membaca. Buktinya, ada beberapa teman
saya yang tinggal di daerah, sering titip untuk dibelikan buku. Laah, sekarang
kan banyak toko buku online, kenapa nggak beli di sana aja? Tapi masalahnya,
kan tidak semua orang bisa sering-sering buka internet untuk melakukan
pemesanan.
Jadi
menurut saya, penjualan buku kurang bagus ituk bukan karena penerbit atau
karena bukunya yang salah lahir, eh terbit. Tapi karena kurang mendapat perhatian dalam
segi pemasarannya. Dan sebetulnya, memang kasihan sekali jika melihat buku yang
nangkring di rak buku itu, mereka seolah menatap penuh harap pada pengunjung
toko yang berlalu lalang. Masih mending dengan buku yang baik nasibnya dengan
adanya promosi sekecil apapun. Nah dengan buku yang tiba-tiba nangkring seperti
jelangkung, datang tak diantar pulang tak dijempu, lama-lama bisa tergeser dan
terus tergeser oleh buku-buku yang fresh
from the oven.
Tuh
kan, nasib buku di toko buku saja bisa seperti itu. Bagaimana dengan nasib buku
yang masih numpuk di gudang?
Jika
masalahnya seperti itu, saya jadi berpikir, bagaiamana kalau mulai dibudayakan
untuk jualan buku keliling. Seperti yang dilakukan oleh tukang perabot
keliling. Perpustakaan keliling, mungkin sering kita lihat. Tapi penjual buku
keliling sepertinya masih jarang atau belum ada sama sekali ya? Padahal kalau
dijajakan keliling seperti itu, masyarakat yang sebelumnya nggak niat beli,
jadi mendapat hidayah untuk beli. Lihat saja yang terjadi dengan tukang perabot
keliling. Ibu-ibu yang bergerombol itu sebelumnya hanya ingin cuci mata lihat
perabotan plastik. Eh lama-lama hatinya jadi tergerak untuk membeli. Nah semoga
demikian juga, dengan nasib buku jika
dijajakan ke kampung-kampung.
tukang perabot keliling |
Beuh,
jadi ingin memulai usaha menjajakan buku keliling kampung deh. Silahkan melirik
sebelah mata ( kalau kelilipan) . Karena jangan dikira, penjual perabot
keliling saja bisa menjual perabot senilai 700 sampai 1 juta lebih. Untuk
penjualan buku, bisa jadi seperti itu juga. Jangan khawatir masyarakat tidak
akan membeli karena kemahalan. Bikin saja program kredit untuk buku-buku dengan
harga di atas 50 ribu. Dijamin mereka mau. Toh membeli gamis dengan cara
mencicil setiap hari juga ok.
rak buku untuk jualan keliling |
Wah asyik ya kalau
bisa begitu. Program IKAPI untuk mencerdaskan bangsa lewat budaya membaca pasti
akan mudah terelaisasi. Semoga.
Tulisan ini diikut sertakan pada Parade blog yang diselenggarakan oleh Syaamil Qur'an dan Pameran Buku Bandung
Tulisan ini diikut sertakan pada Parade blog yang diselenggarakan oleh Syaamil Qur'an dan Pameran Buku Bandung
Buku, bukuuuu... *penjual buku keliling B-)
BalasHapusNah, ada tukang buku dataaang. Ayo kita serbuuuu
BalasHapusFoto rak buku klilingnya keren euy. Digandengin penjual sayur, sama larisnya kali ya mbak :D
BalasHapusHihi... Iyaa, seru kali yaa. Jualan buku keliling
HapusNanti mampir ke rumahku yak... :)
BalasHapusSiaap Teh Yas. Nanti saya bawa catatan pesanan buku
HapusIrmaaaa! Grrreeeaaaaatttt ideeaaaaa!!!!!!!
BalasHapussangat menarik Kak, menginspirasi...
BalasHapusSoftware Kasir Android Terbaik