31 Agu 2014

Dicari!... Tukang Buku Keliling




Oleh : Irma Irawati
Membeli buku adalah hobi, dan membacanya adalah candu. Saya tak pernah mengekang keinginan untuk jalan-jalan ke toko buku dengan mematok jadwal kunjungan.  Terkadang bisa berkali-kali dalam seminggu. Begitu juga dengan anak-anak. Membeli buku juga bisa menjadi hadiah untuk sebuah pencapaian. Boleh membeli buku sampai total harga sekian, adalah reward yang paling menggiurkan. Biasanya begitu menjejak toko buku, anak-anak  langsung semangat dan segera mengambil buku idamannya. Lalu dibaca sepanjang perjalanan, tak peduli siang atau pun malam. Walhasil sampai di rumah, bukunya sudah tamat dibaca dan mulai mengabsen judul buku berikutnya yang ingin dibeli jika besok lusa ke toko buku lagi.
Saya dan anak-anak, biasanya memilih buku yang akan dibeli berdasar synopsis back cover, atau setelah melihar review teman-teman. Baik itu review di facebook atau di goodread. Dan sekarang ini ada tambahan point dalam memilih buku, yakni membeli buku yang ditulis oleh penulis yang berteman di facebook. Karena saya ingin menghargai karyanya sekaligus untuk saya pelajari cara penulisannya.
Mengingat hobi membeli buku yang tak kenal waktu, saya jadi merenung, gimana kalau suatu saat tempat tingal saya jauh dari toko buku?  Saat posisi tempat tingal kita ada di posisi strategis mah, ya asyik-asyik saja ke toko buku kapanpun. Lalu bagaimana jika kita tinggal di pinggiran kampung yang nggak ada mall atau toko bukunya? Nah sepertinya, kondisi seperti itu bisa menjadi  jawaban atas pertanyaan, apa sih masalah yang paling krusial dalam penerbitan?  Menurut saya, masalahnya bukan di penerbit, apalagi di organisasi yang membawahi penerbit. Melainkan pada bentuk pemasaran yang tidak merata.
Bagi masyarakat perkotaan, masalah ini tidak berlaku. Karena mereka bisa membeli buku kapan saja. Sedangkan bagi masyarakat di perumahan mewah alias mepet ka sawah, bagaimana bisa tahu buku apa yang sedang populer, jika menjejak toko buku saja tidak bisa. Begitu juga dengan mereka yang tinggalnya di sekitar diskotik alias di sisi kotak saeutik, tetap saja kemungkinan jalan-jalan ke toko bukunya agak susah. Padahal mungkin mereka sangat ingin membeli buku dan suka membaca. Buktinya, ada beberapa teman saya yang tinggal di daerah, sering titip untuk dibelikan buku. Laah, sekarang kan banyak toko buku online, kenapa nggak beli di sana aja? Tapi masalahnya, kan tidak semua orang bisa sering-sering buka internet untuk melakukan pemesanan.
Jadi menurut saya, penjualan buku kurang bagus ituk bukan karena penerbit atau karena bukunya yang salah lahir, eh terbit.  Tapi karena kurang mendapat perhatian dalam segi pemasarannya. Dan sebetulnya, memang kasihan sekali jika melihat buku yang nangkring di rak buku itu, mereka seolah menatap penuh harap pada pengunjung toko yang berlalu lalang. Masih mending dengan buku yang baik nasibnya dengan adanya promosi sekecil apapun. Nah dengan buku yang tiba-tiba nangkring seperti jelangkung, datang tak diantar pulang tak dijempu, lama-lama bisa tergeser dan terus tergeser oleh buku-buku yang fresh from the oven.
Tuh kan, nasib buku di toko buku saja bisa seperti itu. Bagaimana dengan nasib buku yang masih numpuk di gudang?
Jika masalahnya seperti itu, saya jadi berpikir, bagaiamana kalau mulai dibudayakan untuk jualan buku keliling. Seperti yang dilakukan oleh tukang perabot keliling. Perpustakaan keliling, mungkin sering kita lihat. Tapi penjual buku keliling sepertinya masih jarang atau belum ada sama sekali ya? Padahal kalau dijajakan keliling seperti itu, masyarakat yang sebelumnya nggak niat beli, jadi mendapat hidayah untuk beli. Lihat saja yang terjadi dengan tukang perabot keliling. Ibu-ibu yang bergerombol itu sebelumnya hanya ingin cuci mata lihat perabotan plastik. Eh lama-lama hatinya jadi tergerak untuk membeli. Nah semoga demikian juga,  dengan nasib buku jika dijajakan ke kampung-kampung. 


tukang perabot keliling


Beuh, jadi ingin memulai usaha menjajakan buku keliling kampung deh. Silahkan melirik sebelah mata ( kalau kelilipan) . Karena jangan dikira, penjual perabot keliling saja bisa menjual perabot senilai 700 sampai 1 juta lebih. Untuk penjualan buku, bisa jadi seperti itu juga. Jangan khawatir masyarakat tidak akan membeli karena kemahalan. Bikin saja program kredit untuk buku-buku dengan harga di atas 50 ribu. Dijamin mereka mau. Toh membeli gamis dengan cara mencicil setiap hari  juga ok. 
rak buku untuk jualan keliling

Wah asyik ya kalau bisa begitu. Program IKAPI untuk mencerdaskan bangsa lewat budaya membaca pasti akan mudah terelaisasi. Semoga. 

Tulisan ini diikut sertakan pada Parade blog yang diselenggarakan oleh Syaamil Qur'an dan Pameran Buku Bandung




30 Agu 2014

Payungnya Dunia Penerbitan Bernama IKAPI




Oleh Irma Irawati
Di halaman awal sebuah buku, tak jarang kita temukan nomor keanggotaan IKAPI, penerbit tersebut. Bagi pembaca, halaman itu mungkin tak begitu mendapat perhatian. Tapi bagi penulis, itu penting banget. Jadi dia tahu bahwa bukunya diterbitkan oleh penerbit yang merupakan anggota IKAPI

 
Memangnya apa sih IKAPI itu? Ngaruh ya buat penerbit? Ya iya laah, ya iya iya dong. Dari namanya saja langsung ketahuan, kan. IKAPI itu kepanjangan dari Ikatan Penerbit Indonesia. IKAPI merupakan  asosiasi yang menghimpun penerbit buku seluruh Indonesia, dan hanya satu-satunya di Indonesia. Kalau merunut sejarahnya, IKAPI sampai sekarang ini sudah berdiri selama 63 tahun (waah, nggak pegel ya berdiri terus? Ups…). Bangga dong, Indonesia punya IKAPI.  Jadi serasa memiliki sesepuh yang menaungi, membimbing dan mengarahkan agar para penerbit anggota IKAPI yang kini jumlahnya sudah 1.126 senantiasa berada dalam koridor yang disepakati sebagai anasir yang berjuang mencerdaskan bangsa.  Jadi membayangkan kalau IKAPI itu seorang Kakek bijaksana, dikelilingi 1.126 cucu yang tak bosan menerima wejangan dan petuahnya.
Sepanjang perjalanannya dalam mencerdaskan bangsa dan memajukan perbukuan nasional, IKAPI mengacu pada konsep yang disepakati sejak 4 Juli 1956, yakni Panca Daya IKAPI, sebagai dukungan terhadap perpustakaan Indonesia. Konsep tersebut yaitu :
1.      Usaha memperluas kesempatan membaca dan memperbesar golongan pembaca dengan jalan mendirikan perpustakaan desa
2.      Usaha mengembangkan penerbitan buku pendidikan dan pengajaran dengan menarik biaya alat pengajaran
3.      Usaha menyebarkan hasil cipta sastrawan indonesia dengan jalan mengekspor hak cipta dan mengekspor buku
4.      Usaha melindungi hak cipta serta membantu penerbitan buku universitas dan buku-buku kategori kesusastraan
5.       Usaha mengembangkan industri grafika bagi keperluan pencetakan buku.
Nah sudah jelas kan, betapa IKAPI memiliki peran besar dalam dunia penerbitan buku di Indonesia. Jadi pengen sungkem deh kepada para leluhur yang sudah menguras energi dan pikiran, sehingga IKAPI ini ada. Deuh jadi ingat  pelajaran Bahasa Indonesia saat sekolah dulu. Karena di antara nama besar pendiri itu, ada nama yang tak asing lagi di telinga kita, yakni Syutan Takdir Ali Syahbana.
Dan sekarang, bangga juga dong, pernah menyerap ilmu dari salah seorang pengurus IKAPI, seperti Pak Bambang Trimansyah. Energi dalam dunia literasinya seperti tak pernah habis. Sumbu semangatnya tak pernah padam. Terus menyala, meski apinya ia bagi untuk menyalakan sumbu-sumbu di sekitarnya. Mulai dari skala daerah sampai nasional. Bener-benar membanggakan dan patut diteladani. 
Lalu apa saja sih sepak terjang IKAPI dalam rangka mencerdaskan bangsa ini? Waah itu sih jangan ditanyaa. Pasti bejibun lah. Kita bisa menikmati suguhan memuaskan berupa pameran buku yang digelar berkali-kali dalam setahun, di setiap daerah itu, atas prakarsa siapa coba? Ya, IKAPI. Bagi para penulis, yang ngasih award itu siapa? Ya, IKAPI. Atau kalau ingin tahu peranan lebih luasnya, simak aja visi misi IKAPI berikut ini :
Visi Ikapi

Menjadikan industri penerbitan buku di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan dapat berkiprah di pasar internasional.

Misi Ikapi

Ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa melalui upaya penciptaan iklim perbukuan yang kondusif, pengembangan sistem perbukuan yang kompetitif, dan peningkatan profesionalisme asosiasi serta para anggotanya sehingga perbukuan nasional mampu berperan secara optimal demi mempercepat terbentuknya masyarakat demokratis terbuka dan bertanggung jawab.
Cukup gamblang kan?..
Dan kalau mau lebih rinci lagi tentang sepak terjangnya, kita bisa lihat-lihat  website IKAPI atau berkunjung langsung ke alamat ini:
Jalan Kalipasir, No. 32, Cikini Jakarta Pusat 10330
Telepon 021-31902532, 3141907
Faksimile 021-31926124, 3146050
Trus,  kalau saya disuruh melamun dan berandai-andai jika suatu hari jadi ketua IKAPI, wah kayaknya itu mah mimpi yang terlalu tinggi. Kalau kata para abege urang Bandung mah, “Da akumah apa atuuuh, cuma bubuk ranginang,”.  Jadi programnya nanti saja yaa, kalau saya benar-benar ditunjuk jadi ketua IKAPI. Tapi  yang paling utama sih, saya akan berusaha semampu saya untuk membantu mencerdaskan bangsa ini, melalui budaya membaca dan menulis dengan gerakan sejuta perpustakaan. Di tempat-tempat umum sekecil apapun, harus tersedia perpustakaan. Memberi penghargaan pada anak-anak yang cinta membaca, memberi penghargaan pada perpustakaan dengan pengunjung terbanyak. Untuk memotivasi agar para pegawai perpustakaan membuat acara semenarik mungkin sehingga menyedot pengunjung dan menarik minat masyarakat untuk datang.  Jika kebiasaan dasar membaca ini sudah tertanam, maka program lainnya yang lebih keren, akan bisa diterapkan lagi.
Tulisan ini diikut sertakan pada Parade blog yang diselenggarakan oleh Syaamil Qur'an dan Pameran Buku Bandung



29 Agu 2014

Gadget Bundling Konten Islami, Kenapa Tidak?








Oleh Irma Irawati

Duluuu sekali, saat saya masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar, sekitar tahun 1988. Saya suka mendengar orang-orang dewasa bersenandung lagu qasidah yang isinya menceritakan gambaran ajaib tahun 2000 an. Ada yang masih ingat nggak? … Kalau kita hidup sezaman pasti tahu laah. Saya ingatnya di bagian yang paling enaknya aja sih, kira-kira isinya begini :
Tahun dua ribu kerja serba mesin/berjalan berlari menggunakan mesin/manusia tidur berkawan mesin/ makan dan minum dilayani mesin/sungguh mengagumkan tahun dua ribu/namun demikian penuh tantangan,”
 Kata pengarangnya, Bukhori Masroeri, lewat syair qasidah itu ia ingin mengingatkan tantangan yang harus dihadapi sebagai dampak yang ditimbulkan dari  zaman serba mesin itu. Nah sekarang, tahun 2000 nya sudah lewat belasan tahun. Zaman serba mesin yang dulu hanya dalam khayalan, malah sudah jauh tertinggal dan telah meningkat menjadi zaman serba digital. Jika zaman serba mesin, orang-orang memenuhi kebutuhan hidupnya tinggal tekan, sedang di zaman digital seperti sekarang ini hanya tinggal sentuh saja. Tak perlu pake tenaga.
Jika komputer adalah symbol kemapanan di zaman serba mesin, maka gadget adalah symbol kemapanan di zaman serba digital ini. Semua orang berlomba-lomba memilikinya. Para produsen juga tak mau kalah. Mereka berlomba meningkatkan kecanggihan aplikasinya. Tentu saja agar produk mereka mendapat tempat nomor satu di hati para konsumen.
Ada perusahaan yang hanya menjual gadgetnya saja, dan pengguna harus membeli konten sesuai keiinginan. Ada juga yang hanya menjual konten saja. Nah, kalau ada perusahaan digital yang menawarkan gadget bundling konten  bagaimana? Mmh, boleh juga tuh. Tapi bagi saya sih lihat kontennya dulu. Kalau kontennya cuma buat seru-seruan saja dan bahkan membuat kita tambah lalai, kayaknya nanti dulu deh. Saya mending pilih gadget saja, dan bisa diisi konten sesuai keinginan.
Tapi kalau gadget bundling konten ini benar-benar menyediakan fasilitas yang bakal saya gunakan setiap saat, nambah wawasan, dan memperbaiki kualitas keimanan, kenapa tidak? Apalagi dengan posisi saya sebagai emak-emak, yang merupakan madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Apa hubungannyaaaa? Ya ada lah. Kan anak-anak sekarang udah mulai tuh berakrab-akrab ria dengan gadget. Bayi yang masih hitungan bulan saja melihat dunia, udah langsung bisa pegang gadget. Dan bukankan seorang muslim itu menganjurkan untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya? Dan sekarang zamannya gadget, anak-anak harus tahu cara memanfaatkan kemudahan yang ditawarkannya.
Kalau zaman saya kecil dulu, belajar ngaji pake al-Qur’an tipis yang halaman awalnya terdiri dari beberapa lembar huruf hijaiyah yang harus dieja dan ditunjuk pake sepotong lidi. Lalu di zaman mesin anak-anak mulai pake iqra bergambar kakek di cover belakangnya, nah di zaman digital ini, apa salahnya kalau kita manfaatkan gadget untuk belajar iqra?
 
Belajar Iqra pake  Gadget
 Jadi, ok lah. Intinya saya mau gadget bundling konten islami. Yang menyediakan al-qur’an, hadits, atau tanya jawab keislaman, panduan haji, panduan ramadhan, dzikir pagi dan sore, belajar iqra, nasyid-nasyid penyubur ruhiyah dan membangkitkan semangat berislam, apalagi ditambah mutaba’ah atau evaluasi harian yang mendorong kita untuk menghisab amalan ( Nggak berlebihan sih, bukankah kita dianjurkan untuk menghisab diri kita sendiri sebelum dihisab oleh Allah?). Trus apa lagi ya? O ya, majalah-majalah islami dan  buku-buku keislaman.
Membaca Hadits Arbain pake Gadget

Dzikir Pagi Sore
 
Hafalan doa untuk anak
 Dan yang paling penting, semua itu sudah tersedia. Seperti makan di rumah makan Padang. Mereka hidangkan semua, dan kita tinggal pilih yang mana yang kita mau. Tak perlu diunduh lagi. Karena lagi-lagi, mengingat saya yang emak-emak ini pastilah ingin sesuatu serba mudah. Paling bete kalau sudah cape-cape mengunduh murattal al-Qur’an dengan qaari’ favorite seperti al-muaiqly, eh tiba-tiba hilang saat gadget itu diapdet ke iOs terbaru. 


Sebelum saya akhiri tulisan ini, sebagai seorang muslim saya menyambut gembira jika ada perusahaan digital yang menawarkan gadget bundling konten yang islami. Berharap, dengan adanya produk itu, kita bisa menambah keimanan dan ketaqwaan. Tak ada lagi alasan sibuk atau bermalas-malasan untuk menambah tabungan amal. Karena bagi kita, apapun yang kita lakukan, dimanapun dan kapanpun, pada hakikatnya sedang meniti jembatan untuk mendekat kepada Allah. Untuk mencari ridlaNya.   
Tulisan ini diikut sertakan pada Parade blog yang diselenggarakan oleh Syaamil Qur'an dan Pameran Buku Bandung